Postingan

Proses Kreatif Cerpen Ombak Berdansa di Luquisa Ahmadun Yosi Herfanda

Gambar
Ahmadun Yosi Herfanda Suatu hari (1994), saat meliput konflik Timtim, saya sempat bertemu dan berbincang-bincang dengan seorang mahasiswi Universitas Dili, gadis Indo-Portu. Gadis ini mengaku punya pacar seorang aktifis Clandestin yang berada di hutan. Pada saat yang sama saya mendengar kabar banyak kasus perkosan terhadap gadis Indo-Portu. Ada dugaan kejahatan seksual itu dilakukan oleh tentara, namun berkembang juga dugaan bahwa kejahatan itu dilakukan oleh kalangan Clandestin sendiri untuk memberi citra buruk pada TNI. Dengan semangat keberpihakan pada Indonesia sekaligus pembelaan pada kaum perempuan Timtim, kedua bahan (sumber ide) cerita itu saya gabung, saya rekayasa jadi cerita baru, saya kemas dengan tema “pengkhianatan akhirnya berbuah pengkhianatan juga”, dan jadilah cerpen “Ombak Berdansa di Liquisa”. Tiap cerpen membutuhkan karakter. Agar seru, karena ini cerpen realis, perlu ada tokoh protagonis dan antagonis. Maka saya ciptakan tokoh protagonis Armila (gad

Neka

Gambar
 Cerpen Eep Saefulloh Fatah Malam jatuh dengan ubun terluka Hujan menombaki senja Ombak bagai kelebat mandau (*) Aku biarkan sekujur tubuhku dirundung kuyup. Ini senja kesepuluh aku teronggok di tubir pantai gelap itu. Tadi siang, dua bis kota bergantian mengangkutku. Sebuah angkot melanjutkannya hingga ke loket karcis. Lalu kusambangi pantai hingga malam mengubur terang. Kupeluk sepi di tengah keramaian. Rute sebaliknya kutempuh hingga kamar kos di pinggir kampus membekap tidurku dalam kelelahan. Sekujur diriku terluka. Bahkan setiap hujan di musim yang basah ini serasa menombaki ulu hatiku. Hasratku untuk pulang terhadang rasa takut di ubun-ubun. Peperangan hasrat melawan takutku tak juga usai. Dan aku tak bisa bicara pada sembarang orang. Teman sekamar kosku sekalipun. Itulah rentetan kalimat yang kusua dalam catatan harian Neka. Di atasnya tertulis ”1 Desember 2000”. Beberapa buku catatan harian Neka kutemukan terselip di lapis paling bawah tumpukan b

The Poets Fight Back: East Timorese poetry as counterdiscourse to colonial and postcolonial identities

Gambar
By Anthony Soares Oost-Timor moet vrij! Poster by Basuki Resobowo 1977 Abstract: This article examines whether the experiences of Portuguese and Indonesian colonial rule in East Timor acted as a unifying factor, creating a sense of East Timorese national identity, inspiring its poets to engage in a revolutionary and anti-colonial lyrical discourse that mirrored the aspirations of those fighting for independence. It also considers the significance of contemporary East Timorese poetry that has elements of a counterdiscourse in a postcolonial, independent East Timor, asking whether the apparent unity of anti-colonial lyric voices has fractured, and whether the disappearance of the oppressive presence of Indonesia means that there is no power that can inspire a concerted reaction amongst East Timorese poets. Finally, although the ‘other(s)’ against which the colonial and postcolonial poetic counterdiscourses of East Timor are reacting against may be different, the negati