Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2011

Mari Alkatiri (Lagi)

 Oleh Kristio Wahyono* Terpilihnya kembali Perdana Menteri Timor Leste Mari Alkatiri sebagai Sekjen Partai Front Revolusioner Kemerdekaan Timor Leste atau Fretilin dalam kongres 17-19 Mei 2005, tidak banyak menarik perhatian publik.Pada tahun 1999, ketika dia kembali ke Timor Timur dari pengasingan juga tidak ada yang peduli. Bahkan, saat jadi calon kuat Perdana Menteri pun, fokus utama bukan ditujukan pada dirinya, tapi menggebu-gebu pada tokoh karismatik Kay Rala Xanana Gusmao. Memang, masih terlalu dini untuk memperhitungkan Mari Alkatiri dan partai mayoritas di pemerintahannya, dengan kemungkinan pergantian pemerintahan tahun depan, apalagi masih menjadi pertanyaan besar apakah Fretilin nantinya mampu memenangkan pemilu. Namun, apabila jawabannya adalah ya, maka jawaban perdana menteri di bawah kendali Alkatiri untuk periode kedua, terlebih lagi apabila Xanana tahun depan tidak bersedia lagi dipilih, jelas akan membawah pengaruh yang signifikan bagi negara-negara yang sangat ber

Bunga-Bunga Gugur di Timor-Timur

  Cerpen Mayon Soetrisno "Ibu, Tolonglah," pinta Felomena lirih. "Saya tidak menghendaki anak ini. Saya ingin menggugurkan kandungan ini. Tolonglah ibu." Suster Bernadeta menghela nafas panjang. "Filomena," suara suster Bernadeta lembut. "Engkau mengerti seorang perempuan dianggap sempurna, apabila dia bisa melahirkan anak untuk suaminya. Engkau seharusnya merasa bangga dapat mengandung. Banyak sekali perempuan yang menderita karena tidak dapat mempunyai anak." "Tetapi saya melahirkan anak siapa, Dokter," keluh gadis itu putus asa. "dia sudah pulang ke Jawa. Anak ini haram, jadah, saya tidak ingin melahirkannya. Tolonglah saya, ibu." "Ibu boleh mengetahui anak siapa itu, Mena?" "Anak Mayor Siregar." "Kapan dia kembali ke Jawa?" "Seminggu yang lalu." "Kau tidak mengatakan tentang kehamilanmu?" "Mengatakan, Ibu, tetapi dia tidak menggubrisnya. Dia mala

Ombak Berdansa Di Liquisa

Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda Ombak berdansa di Pantai Liquisa. Lidah-lidahnya menari dalam gemuruh hujan yang mengguyur pepohonan di sepanjang pesisir. Dan, dalam cuaca dingin malam Minggu berkabut, di dalam sebuah gedung sederhana di tepi pantai, orang-orang berdansa dalam hentakan musik disko. Ayo! Kalau tidak berdansa kau belum ke Liquisa,” seorang lelaki berkata sambil menarik tangan perempuan yang duduk di depan bar. Kota pantai di barat daya Dili, Timor Timur, ini memang dikenal dengan masyarakatnya yang suka berpesta, dan inilah sisa budaya yang ditinggalkan penjajah Portugis. Perempuan itu bergeming di tempat duduknya. Ia menggeleng di keremangan. Lelaki itu melotot. Matanya menyala dalam remang cahaya lampu. Rambutnya yang berombak seperti berdirian tiba-tiba. Perempuan yang dipanggil Armila itu balas melotot. Matanya juga menyala. Dan…, tiba-tiba terdengar suara tembakan, berkali-kali. Mereka tegang dan gelisah. Tapi, o

Nasionalizmu, Hateke Hosi Poeta Sira Nia Hanoin

Gambar
*) NASIONALIZMU TIMOR-LESTE NIAN HATEKE HOSI  NINIA POETA SIRA- NIA HANOIN Hosi Abé Barreto Soares Abe Barreto Soares “Poetry is existential communication” Breyten Breytenbach INTRODUSAUN Kestaun nasionalizmu sempre sai nu’udar tópiku ida-ne’ebé interesante atu elabora no ko’alia, partikularmente iha rai hanesan Timor-Leste, ne’ebé hakat liutiha ona periodu kolonializmu iha tempu Portugál no Indonezia nia ukun. Hanesan mós eskritór sira seluk iha kolonia Portugeza iha kontinente Áfrika ne’ebá, eskritór Timoroan sira mós hala’o knaar ida-ne’ebé signifikante tebetebes hodi sunu lakan sentimentu nasionalizmu entre sira-nia maluk patriota sira-nia leet durante funu ba libertasaun nasionál. Ezemplu konkretu ida maka ita bele foti hosi rai Angola maka ninia eskritór, António Agostinho Neto ne’ebé, “la’ós sai de’it nu’udar Angola nia Prezidente ba dahuluk maibé kontinua sai ninia poeta ne’ebé prominente liuhotu, h