Proses Kreatif Cerpen Ombak Berdansa di Luquisa Ahmadun Yosi Herfanda
Ahmadun Yosi Herfanda |
- Suatu hari (1994), saat meliput konflik Timtim, saya sempat bertemu dan berbincang-bincang dengan seorang mahasiswi Universitas Dili, gadis Indo-Portu. Gadis ini mengaku punya pacar seorang aktifis Clandestin yang berada di hutan.
- Pada saat yang sama saya mendengar kabar banyak kasus perkosan terhadap gadis Indo-Portu. Ada dugaan kejahatan seksual itu dilakukan oleh tentara, namun berkembang juga dugaan bahwa kejahatan itu dilakukan oleh kalangan Clandestin sendiri untuk memberi citra buruk pada TNI.
- Dengan semangat keberpihakan pada Indonesia sekaligus pembelaan pada kaum perempuan Timtim, kedua bahan (sumber ide) cerita itu saya gabung, saya rekayasa jadi cerita baru, saya kemas dengan tema “pengkhianatan akhirnya berbuah pengkhianatan juga”, dan jadilah cerpen “Ombak Berdansa di Liquisa”.
- Tiap cerpen membutuhkan karakter. Agar seru, karena ini cerpen realis, perlu ada tokoh protagonis dan antagonis. Maka saya ciptakan tokoh protagonis Armila (gadis indo Portu, mahasiswi) dan tokoh antagonis Jao (aktifis Clandestin gadungan)
- Berikutnya, setelah merancang plot (di kepala) yang kira-kira seru, cerita pun saya mulai dari pertemuan Jao dan Armila dalam sebuah pesta dansa di Pantai Liquisa. Agar puitis serta mengimajikan suasana alam dan sosial setempat, maka saya beri judul “Ombak Berdansa di Liquisa”
- Saat Armila dan Jao mengobrol di pojok kafe tempat pesta dansa, tiba-tiba ada penggerebekan oleh TNI. Jao lari ke hutan, dan Armila diselamatkan oleh seorang Clandestin bernama Mariana. Nah, saat tidur di rumah Mariana inilah justru kedok Jao terungkap. Jao ternyata seorang Clandestin gadungan yang banyak melakukan kejahatan seksual terhadap gadis-gadis indo Portu. Mariana ternyata adalah istri Jao, yang sudah punya satu anak laki-laki yang wajahnya sangat mirip Jao. Lelaki ini juga menodai beberapa gadis Timtim dan ditinggal begitu saja, dan bahkan diduga kuat pernah membunuh salah seorang korbannya yang sedang hamil.
- Merasa dibohongi, dan mengetahui kaumnya direndahkan oleh clandestin gadungan, marahlah Armila. Setelah melalui konflik batin yang tajam, dia pun berkhianat dengan menunjukkan persembunyian Jao di hutan pada TNI. Jao tertangkap dan dijebloskan ke penjara militer.
- Endingnya: Armila mendatangi Jao di penjara untuk melampiaskan kemarahannya. Bukan dengan menampar atau memaki-makinya, tapi dengan kata-kata tajam yang langsung menusuk ulu hati Jao. Berikut ini kutipan endingnya:
Ditunggu sehari, dua hari, tiga hari, empat hari, lima hari, enam hari, akhirnya Jao tertangkap juga. Hidup-hidup, dengan paha kiri tertembus peluru. Armila langsung memburunya ke penjara. Lelaki itu menyunggingkan senyum begitu melihat Armila datang. Tapi gadis ini malah mencibir. “Mariana sudah bercerita banyak tentang kau,” katanya dengan mata yang memancarkan kebencian.
“Cerita
apa saja dia?” Jao langsung curiga.
“Kau
pasti sudah dapat menebaknya. Aku berkenalan dengan anakmu di rumahnya. Juga
tentang Isabela yang kau bunuh di tepi hutan setelah kau hamili. Kau pembohong
besar, Jao.”
“Bangsat
dia!” Mata lelaki itu makin merah menyala.
“Kupikir,
ini ganjaran yang setimpal untuk lelaki macam kau. Akulah yang menunjukkan
tempat persembunyianmu pada tentara.” Suara Armila datar, tapi kata-katanya menghantamkan
pukulan telak.
“Jadi,
kau mengkhianati aku, Armila? Kau mengkhianati bangsa Timor! Bangsat kau!”
“Tidak,
Jao. Aku tetap setia pada cita-cita perjuangan Clandestine. Tapi, bangsa Timor
tidak membutuhkan lelaki seperti kau. Kami membutuhkan para pejuang yang dapat
melindungi kaum perempuan, bukan perusak perempuan seperti kau. Kau tak ada
artinya bagi masa depan kami, Jao. Selamat tinggal!’’
Dengan
wajah tetap membara, Jao terperangah mendengar kata-kata Armila. Pada saat
itulah perempuan itu membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan lalaki
yang tangannya sedang bergetar geram mencengkeram terali besi.
“Bangsaaat!
Awas, kubunuh kau, pengkhianat! Perempuan busuuuuk!!!” suara Jao keras sekali,
seperti mau meledakkan penjara.
Tapi,
Armila terus melangkah pergi, pura-pura tidak mendengar umpatan itu. Hatinya,
yang terasa amat pedih, hancur berkeping-keping, lalu menyerpih bagai serpihan
ombak yang terus berdansa di Pantai Liquisa.
Sumber:
diambil dari Dari Empati Menjadi Fiksi (Sebuah Proses Kreatif Penulisan Cerpen)
oleh Ahmadun Yosi Herfanda http://dc371.4shared.com/doc/kEqhTmlU/preview.html
Komentar
Posting Komentar