Bunga-Bunga Gugur di Timor-Timur

 Cerpen Mayon Soetrisno

"Ibu, Tolonglah," pinta Felomena lirih. "Saya tidak menghendaki anak ini. Saya ingin menggugurkan kandungan ini. Tolonglah ibu."

Suster Bernadeta menghela nafas panjang. "Filomena," suara suster Bernadeta lembut. "Engkau mengerti seorang perempuan dianggap sempurna, apabila dia bisa melahirkan anak untuk suaminya. Engkau seharusnya merasa bangga dapat mengandung. Banyak sekali perempuan yang menderita karena tidak dapat mempunyai anak."

"Tetapi saya melahirkan anak siapa, Dokter," keluh gadis itu putus asa. "dia sudah pulang ke Jawa. Anak ini haram, jadah, saya tidak ingin melahirkannya. Tolonglah saya, ibu."

"Ibu boleh mengetahui anak siapa itu, Mena?"

"Anak Mayor Siregar."

"Kapan dia kembali ke Jawa?"

"Seminggu yang lalu."

"Kau tidak mengatakan tentang kehamilanmu?"

"Mengatakan, Ibu, tetapi dia tidak menggubrisnya. Dia malah mengatakan terus-terang kalau di Jawa sudah mempunyai istri dan lima orang anak. Katanya pula, dikalangan tentara Indonesia tidak diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu. Dan dia pula yang menganjurkan agar saya menggugurkan kandungan ini."

Suster Bernadeta menelan ludah. Pahit. Menatap wajah Felomena seakan ia menembus kenyataan getir di Timor Timur. Perang sudah mengubah segalanya. Menambah warna pucat Timor-Timur yang sejak abad ke 16 di bawah penjajahan Portugal. Tahun 1512 ketika Alfonso de Al Buquerque menaklukan Malaka, kemudian Timor Timur, praktis kehidupan wilayah itu direjam penderitaan.

Juga ketika pemerintahan Portugal mengingkari "Memorandum of Understanding" yang disusun di Roma bersama pemerintah Indonesia untuk pembebasan Timor Timur, dan menyerahkan kekuasaan kepada Fretilin, perang memang tidak dapat dielakkan. Kekejaman Fretilin yang beraliran kiri Marxis dibalas oleh Apodeti, Kota, Trabalihista dan UDT, partai-partai yang memutuskan untuk berintegrasi dengan Indonesia. Betapa mulianya peperangan, tak pernah mengubah keadaan lebih baik.

Itulah yang diyakini Suster Bernadeta. Perang tidak hanya menjadi urusan tentara, tetapi seluruh rakyat turut menaggung deritanya. Juga ketika pemerintahan Indonesia turut campur di bidang Militer, kenyataannya tidak hanya pertempuran dengan Fretilin yang menjadi urusannya, tetapi juga cinta. Kelamin. Cinta semusim tumbuh sejak dari Bobonaro sampai Dili.

Akibat buruk berulang terjadi. Gadis-gadis meratapi kepulangan kekasihnya ke Indonesia. Dan menurut catatan Suster Bernadeta, ada lima orang meninggal akibat usaha aborsi yang gagal. Dukun di Timor Timur sering secara ceroboh mengorek liang senggama pasiennya, sehingga berakibat penderahan.

"Ibu," Felomena kembali merajuk. "Papa berniat mengawinkan saya dengan orang mestiqo bulan depan. Perkawinan dengan orang Mestiqo bakal mengangkat derajad keluarga kami, tapi tidak mungkin saya menikah dalam keadaan mengandung, tidak mungkin, Ibu."

"Felomena, pengguguran kandungan adalah dosa besar."

"Sekali saja, Ibu, selamatkanlah diri saya. Biarkan saya menika dengan orang Mestiqo."

Berkata demikian Felomena menangis di pangkuan Suster Bernadeta. Membuat biarawati itu tak mampu menahan airmata. Sedikit-sedikit ia mengetahui di Timor Portugal terdapat kasta koloniial yang membuat pemisahan penduduk. Orang kulit putih di puncak, orang Mestiqo (Indo), Timur Asing (Cina dan Arab) dan Pribumi. Dan sudah adatnya, perkawinan pribumi dengan kasta di atasnya secara otomatis mengangkat derajat keluarga. Kecuali itu dowry atau emas kawin dari orang Mestiqo memang biasanya besar.

Dan kini Felomena terhalang benih di rahimnya. Untuk menolongnya, kandungan itu mestinya digugurkan, namun seorang dokter dan biarawati tak mungkin melakukan. Tak mungkin!

Kemanusiaan suster Bernadeta benar-benar terkoyak. namun ia hanya bisa diam. Dan saat Felomena pulang, dari jendela Centro Sanitario ia hanya bisa memandang nanar. Seakan dunia menjadi buram penuh coretan.

Malam hari di rumah Dominggus Silva, di mana Suster Bernadeta tinggal, dilangsungkan penyerahan patung Bunda Maria. Tradisi ini adalah peninggalan Padri Portugal di abad pertengahan; menggilirkan Bunda Maria dari rumah ke rumah secara bergantian setiap malam. Dulu tradisi ini pernah berhenti, terutama ketika Fretilin berkuasa. Namun setelah Apodeti merebut kembali kota Dili pada tanggal 7 Desember 1975, tradisi itu dijalankan lagi.

Kekalutan yang terjadi di bekas koloni ini, sesaat setelah Gubernur Portugis Mario Lemos Pires meninggalkan Dili mengungsi ke Pulau Atauro, dan penyerahan kekuasaan kepada Fretilin, banyak sekali minta korban. Hampir tigaratus orang terbantai di desa Same dan Aileu di selatan Dili. Ditemukan pula mayat Osorio Soarez pimpinan Apodeti akibat penyembelihan Fretilin.

Ratusan orang mengungsi ke NTT, ratusan yang lain turut kapal McDilly ke Australia. Duka cita ini teramat berat, sehingga tradisi berdoa di depan Maria bisa meringankan beban rohani mereka.

Baru saja Bernadete selesai berdoa, muncul Imama membawa kabar buruk. Felomena mengalami pendarahan. Segera Bernadeta ke rumah sakit, tapi usaha penyelamatan itu gagal. Sesudah berjuang melawan maut selama setengah jam, Felomena menjelaskan.

Suster Bernadeta tercekam pemandangan di depannya. Tubuh Felomena yang membujur jadi mayat. Juga raung keluarganya di luar ruangan. "Ada masanya seorang dokter gagal menyelamatkan pasiennya," kata dokter Monteiro menghibur. "Tetapi bukan dosa. Jangan terlalu dirisaukan."

Tidak bisa! Kerisauan itu memburu Bernadeta sepanjang malam. Ia merasa andil dalam pembunuhan Felomena. Ia telah menolak menggugurkan kandungan gadis itu, dan tadi menemukan keratan daun jarak serta potongan lidi dalam liang senggama Felomena. Gadis itu tentu pergi ke dukun untuk menghancurkan kandungannya.

Dan akibat penolakannya, Felomena meninggal di tangannga. Ya, Tuhan. Ya, Tuhan.

***

Ketika menghadiri pengguburan Felomena, dokter Monteiro berkata: "Jangan terlalu menuruti perasaan. Suster sudah berdiri di atas sebuah prinsip Tuhan, itu yang penting. kita berhadapan dengan berbagai godaan untuk berbuat dosa."

"Ya," keluh Bernadeta lirih.

"Perang ini yang membuat keadaan tidak bisa dikendalikan. Sehingga dosa menjadi kurang nilainya, dan ke Tuhanan mendapat ujian. Ke Tuhanan harus bisa memecahkan problem kemanusiaan, tetapi dalam pergolakan seperti sekarang sering gagal menjalankan fungsingnya."

Ucapan itu lewat telinga kanan Bernnadeta. Menenangkan. Tapi cuma sebentar, karena sebulan sesudah kematian Felomena, Fernanda muncul dengan problem yang sama.

"Kenapa harus digugurkan?" tanta Suster itu terkejut.

"Saya bisa ditembak Papa kalau dia mengetahui kehamilan ini."

"Kenapa?"

"Dokter tidak mengetahui," potong Fernanda tanpa tekanan. "Ini anak Fretilin," lanjutnya. "Mungkin Papa tidak membenci saya, tapi dendamnya pada Fretilin pasti membuatnya murka. Lebih-lebih setelah kematian kakak saya Fernando di tangan Fretilin, siapa dapat mencegah bila dia bermaksud menembak saya?"

"Bagaimana bisa terjadi? Siapa ayahnya?


Dengan murung Fernanda menceritakan kisah cintanya dengan Fransisco Diaz: "Saya sangat mencintainya, Dokter," katanya datar. "Dia wakil Papa di Apodeti, Francisco sudah menjadi kepercayaan Papa, sehingga saya pun tidak takut hamil dengannya. Tapi, siapa mengira, kenyataan terkutuk ini bakal terjadi. Seminggu yang lalu diketahui Fransisco orang komunis, dia sengaja diselundupkan Fretilin untuk memata-matai Papa. Sekarang dia ditangkap. Tapi saya terlanjur mengandung. Ini anaknya, Dokter."


"Bagaimana kalau saya keberatan, Fernanda?"


Kenapa? Bukankah Dokter kemari untuk menolong kami?"

"Dokter Carlos dulu menggugurkan kandungan untuk kebaikan kami," protes Fernanda. "Sebelum dia kembali ke Portugal, kami datang padanya untuk menggugurkan kandungan."

Suster Bernadeta terpana di depan Fernanda. Kemudian setelah menegaskan prinsipnya sunter itu beranjak pergi. Kemanusiaannya terkoyak, dan syarafnya menjadi setegang biola.


Ketegangan itu mencapai puncak pada pagi harinya. Sebuah kereta mayat menyusuri lorong rumah sakit, persis berpapasan dengannya. Suster Imama mengangguk menyambut Bernadeta.

"Ada yang tidak tertolong, Imama?"

"Ya, Dok."

"Siapa?"

"Pasien baru. Malam tadi ia dibawa kemari."

"Sakit apa?"

"Bunuh diri. Fernanda memotong urat nadinya."

"Siapa?" Suster Bernadeta tersentak. Dan terdiam sesaat setelah mendengar penjelasan Imama. Ia kuatkan hatinya untuk membuka selimut. Dan seribu bintang seakan bertabur di kepalanya. Ia melihat wajah Fernanda seputih kertas. Terhuyung-huyunng Bernadeta memegang tiang di tengah koridor. Segera ia berlari ke kantornya dan menghempaskan pantat di kursi.


"Apa artinya jadi dokter kalau aku tak mampu mencegah kematian," keluhnya dalam hati. "Fernanda seharusnya bisa diselamatkan." rutuknya.

Kematian Fernanda telah menyeret Suster Bernadeta pada kenangan lama. Ketika ia masih tinggal di Yogya, dan berpacaran dengan Hendrawan. Ketika itu dia masih duduk di kelas dua SMA Bopkri. Persis ketika haidnya berhenti, Hendrawan mengalami kecelakaan. Kekasihnya meninggal. Ia menjadi pontang-pannting, dilibat ketakutan maha dahsyat. Baru pertama kali seummur hidup ia mengalami kenyataan terkutuk itu.

Untung di puncak ketakutan, seorang doketer bersedia menggugurkan kandungannya. Dengan tabunganya tujuhpuluh ribu -ia bebas dari kemelut. Namun tak seluruhnya. Ia membawa trauma. Dengan segala keputus asaan ia masuk Seminar. Ia putuskan untuk tidak berhubungan dengan laki-laki. Selibat! Ternyata ia mampu bertahan. Dan ketika Susteran menawarkan beasiswa, Bernadeta memasuki fakultas kedokteran. Semula ia percaya menjadi biarawati sekaligus dokter merupakan dua bidang pengabdian yang saling melengkapi.

Nyatanya tidak! Ternyata banyak ia jumpai rambu di bidang kedokteran hingga berkali-kali kemanusiannya terkoyak.

Sepanjang malam hatinya dilibat benang basah, sampai akhirnya ia menggenggam keyakinan untuk bersetia pada hati nuraninya.

***

PERTEMPURAN terus berlangsung. Fretilin terdesak menjadi lebih ganas. Bobonaro, Aileu, Baucau sampai Viqueque jadi ajang pertempuran yang hebat. Rex Sydell, seorang pengusaha kopi di Los Palos, diminta Dewan Keamanan PBB untuk memberikan keterangan dalam sidang dewan tersebut. Kemudian di Geneva, V.W. Gucciardi wakil khusus Sekjen PBB menemui utusan PSTT. Dan pemerintahan Sementara Timor Timur tetap bersih keras menganggap integrasi dengan Indonesia merupakan satu-satunya alternatif.

Segala berita simpang selisih, namun Suster Bernadeta lebih tertarik dengan kedatangan Joao Diaz Gimenez sore tadi Imelda, anak Joao mengandung akibat hubungannya dengan seorang tentara Indonesia. Dan sekarang Joao minta agar Bernadeta menggugurkan kandunganya.


"Sejak ibunya meninggal duapuluh tahun yang lalu, saya berusaha jadi ayah yang baik. Saya tidak menikah lagi, karena apa, karena saya amat mencintai Imelda. Kalau sekarang dibawa ke Jawa, apa yang dapat saya harapkan? Tidak ada. Karena itu saya minta tolong Dokter, sungguh tak ada yang dapat saya perbuat kecuali menahan Imelda di sini."

Semula Bernadeta menonal. Tetapi Joao meratap di depannya. Ratapan Joao mengingatkan Joao pada wajah Felomena dan Fernanda. Dengan menggigit bibir ia mengangguk menyanggupi permintaan Joao. Kontan lelaki itu bangun mencium tangannya.

Tetapi seminggu setelah pengguguran kandungan dilakukan, Bernadeta mendapat surat panggilan dari Jakarta. Dengan pesawat Cessna, Bernadeta dan Doketer Monteoiro berangkat dari bandar udara Comoro, Dili.

Di Jakarta, Bernadeta terhenyak di kursi. Ia berhadapan dengan tim dokter yang akan memeriksanya. Diketahui kemudian, ternyata pacar Imelda membuat surat pengaduan tentang aborsi yang dilakukan Bernadeta. Pemeriksaan itu melelahkan.


"Saya hanya ingin menegaskan, bahwa kami dapat membawa kasus ini ke depan pengadilan. Dan dokter bisa diancam pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP. Pada pasal 346 disebutkan; seorang wanita yang melakukan sendiri abortus provocatus criminalis atau menyuruh dengan perantaraan orang lain melakukannya diancam hukuman maksimu 4 tahun penjara," dokter itu menghela nafas. Ia menutup buku KUHP, kemudian, "Kami dari tim kedokteran tidak ingin membawa kasus ini ke pengadilan, tetapi coba terangkan apa alasan dokter melakukan pengguran itu?"

"Saya ingin bertanya, apakah di antara tim pemeriksa ada yang pernah ke Timor Timur?" Bernadeta balik bertanya. Tak ada jawaban, maka ia melanjutkan. "Di sana saat ini sedang terjadi perang. Dan kehamilan di luar nikah banyak terjadi. Bukan semata karena hubungan bebas, tetapi karena pengaruh perang."

"Maksud, Dokter?" Seorang bertanya.

"Perang tidak hanya menciptakan pertempuran, tetapi juga kesepian, cinta dan hubungan kelamin. Banyak sekali tentara Indonesia yang meninggalkan Timor Timur tanpa tanggungjawab pada benih yang mereka sebarkan, dan mengakibatkan banyak gadis Timor Timur hamil. Kalau ini terjadi, siapa yang dipersalahkan?

Ada guman halus

"Saya akan menegaskan di hadapan tim pemeriksan," lanjut Bernadeta tenang. "Keadaan yang salah. Tetapi bukan mencari kambing hitam itu yang penting, melainkan pemecahan dari kemelut yang ditimbulkan peperangan."


"Dengan cara melanggar undang-undang?"

"Di mana daerah perang ada Undang-undang?" balas Bernadeta sarkastis. "Seorang gadis meninggal di tangan saya akibat ulah seorang dukung yang tak bertanggungjawan, juga tentara Indonesia yang menghamilinya. Kemudian gadis lain bunuh diri akibat hubunganya dengan seorang anggota Fretilin. Kematian terus terjadi akibat perang di Timor Timur, bukan karena peluru, Dokter, tetapi akibat paling hakiki dari peperangan, yaitu kebrutalan tentara dan gerilyawan. Juga kekotoran politik! Saya tidak melihat alasan lain untuk mencegah hal ini kecuali kemanusiaan."

"Aborsi, apakah Dokter anggap sebagai kemanusiaan?"

"Dalam keadaan darurat, Ya."

"Apakah kemenusiaan mengenal keadaan darurat?"

"Justru kemanusiaan lahir di sana," jawab Bernadetea tandas. "Kita memiliki profesi dokter, sehingga pandangan kita tertutup oleh alasan klinis. Fakta, diagnosis, dan pengobatan. Kita tidak pernah menilai sesuatu dengan ukuran serta moral."

"Ukuran moral mana yang mengijinkan Anda menggurkan kandungan?"

"Moral hatinurani," jawab Suster itu tegas. "Moral sudah berubah. Dan kemanusiaan yang mempengaruhi. Di RSCM dan rumah sakit lain juga dilakukan aborsi dengan alasan medis, tetapi siapa yang tahu medis atau tidak? Siapa yang tahu bahwa dokter di mana pengguguran dilakukan dengan legal tidak membohongi sumpahnya? Tidak ada yang tahu."

"Hukum membolehkan aborsi dengan alasan medis..."

"Dan hukum sudah membuka preseden baru untuk kejahatan yang lebih besar. Karena kalau aborsi dianggap pembunuhan, di manapun pembunuhan dan apapun motifnya adalah tindakan kriminal yang melawan hukum. Terutama hukum ke Tuhanan."

Akibat jawaban Bernadeta terjadi perdebatan seru.


Para dokter saling berpandangan. Tak sepatah kata pun terucap dari mulut mereka. Sinar mata mereka redup seakan menjelajahi kehidupan yang jauh di tengah belantara hati nurani yang terbelah. Mereka membisu, coba bersembunyikan jiwa yang terkoyak oleh realitas getir peperangan.

Suster Bernadeta menunggu beberapa saat. Ketika semua tetap membeku, wanita itu perlahan berdiri, kemudian berjalan meninggalkan ruangan. Langkahnya perlahan berubah menjadi kian cepat, seiring tumbuhnya kesadaran dalam dirinya, mungkin saja ia kalah dan ijin prakteknya bakal dicabut namun dalam jiwanya tumbuh kesadaran bahwa ia telah memenangkan hati nurani kemanusiaan.


****

Sumber: Najib Kertapati Z. (ED). 2003. Kumpulan Cerpen Pilihan. Bunga-Bunga Gugur di Timor Timur. Jakarta: Progres. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prinsipius Doutrina Sosial Igreja No Prinsipius Filozofikus -Ideolojikus Fretelin

East Timor Revisited: Ford, Kissinger and the Indonesian Invasion, 1975-1976

Poezia Ida, Depois Festa Fulan-Agostu