Catatan Perjalanan di Bumi Lorosae (2)

Dear Joko dan Riri,

Maaf, aku baru sekarang menjawab surat kalian, meskipun beberapa kali aku  mendengar pesan kalian lewat mailbox di handphoneku. Riri, surat yang kamu titipkan pada seorang teman juga sudah aku baca. Terima kasih, ya. Aduh, kamu baik bener ngirimi aku makanan dan rokok. Memang sudah satu bulan ya, aku tak pernah berkabar pada kalian. Kalian jangan khawatir begitu, dong. Ada-ada saja kalian ini. Percayalah, aku baik-baik saja. Dibunuh milisi? Ah, jangan berpikir yang aneh-aneh.

Dalam perjalanan ke luar kota, kadang-kadang aku juga melihat milisi. Pernah aku menduga-duga jangan-jangan milisi itu bukan manusia, tapi robot. Eh, ternyata mereka manusia seperti kita juga. Cuma tindakan brutal yang mereka lakukan itu yang seperti robot. Mereka bisa membunuh orang lain, seperti kita membunuh nyamuk. Kata Neves, mereka mau bergabung menjadi anggota milisi karena dipaksa. Dipaksa? Ya, mereka memang tak punya plihan. Mereka tak punya kuasa untuk melawan. Ketika Neves cerita, aku nggak habis mengerti, bagaimana mungkin seorang kepala desa ternyata juga merangkap menjadi milisi. Ya, begitulah Timor Lorosae. Mereka tentu saja mendapat gaji atau tepatnya upah atas tugas mereka itu. Yang pernah aku dengar besarnya Rp 150 ribu. Gila ya?

Sebagaimana manusia biasa tentu saja aku letih. Kadang aku merasa lelah yang amat sangat. Kelelahan itu rasanya lebih diakibatkan karena aku tahu semakin maraknya kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Terkadang aku tak sanggup mendengar berita adanya  penyerangan atau pembunuhan di Dili atau di tempat lain. Dan itu bukan cuma sekali-sekali. Kalau boleh aku katakan, hampir terjadi setiap hari. Jika ada yang menghitung mungkin saja setiap jam sekali pasti ada pembunuhan, penganiayaan, teror atau intimidasi. Bagaimana mungkin kita bisa melupakan begitu saja kejadian itu. Kamu tahu, kekerasan itu tak hanya terjadi di Bumi Lorosae. Tapi saat ini juga terjadi di Aceh dan Ambon, juga di Papua Barat. Temanku seorang jurnalis di Aceh, pernah mengaku pusing ketika menyaksikan kekerasan demi kekerasan itu. Saat itu, ia tengah menulis berita sejumlah narapidana yang kabur dari penjara, eh,  ada berita lain tentang para pengungsi yang diserbu tentara. "Lama-lama aku jadi pusing sendiri dengan masalah-masalah seperti ini. Gila, mau jadi apa negeri ini. Di sana masalah, di sini banyak masalah. Mending aku minggat saja ke Kutub Utara, ya," tulisnya, mencoba bercanda. Sebagai jurnalis, Prima, temanku itu mengaku seringkali tak bisa tidur nyenyak. Menurut Prima, ingin rasanya dia menghentikan semua kebiadaban ini. Ia juga agak kecewa karena media tempatnya bekerja tak selalu bisa mengungkapkan semua fakta yang tengah terjadi.

Aku mengerti betul bagaimana media di Indonesia memberitakan kejadian-kejadian itu. Bukan hanya itu, Jok. Tak jarang mereka memutarbalikkannya. Apalagi persoalan Timor Timor yang berkaitan dengan referendum. Berbagai media lebih sering mengutip apa yang dikatakan para pejabat. Kalau bukan pejabat pemerintah di Jakarta sana, pastilah para petinggi di Polres, Polda atau pimpinan lembaga pro-Jakarta yang ada di sini. Males  aku menyebut apa saja lembaga mereka itu dan siapa pimpinannya. Buang-buang waktu saja, ah.

Semenjak aku di sini, aku hanya membaca dua surat kabar dari Jakarta. Itu pun kalau ada pesawat terbang yang mendarat di Pelabuhan Comoro. Kalau tidak, setiap pagi aku hanya membaca harian Suara Timor Timur (STT). Meskipun koran itu sering membuat aku pusing karena isinya yang nggak karuan, tapi aku harus membacanya setiap hari.  Kayaknya, STT sudah jadi corongnya kelompok pro-otonomi atau yang lebih dikenal sebagai pro-integrasi. Bagaimana tidak? Tiap hari, hampir seluruh halaman koran itu dipenuhi gambarnya Sico Lopes, Ketua BRTT dan Salvador Ximenez, Sekjen BRTT. Padahal Salvador juga menjadi salah satu pimpinan di STT. Bisa dibayangkan bagaimana berita di STT itu, Ri.  Tiap hari penuh dengan pernyataan perang kelompok-kelompok milisi dan upaya  cuci tangan pihak Polri, yang telah diberi mandat oleh PBB untuk mengurusi masalah keamanan. Belum lagi orang-orang pemerintah yang melakukan propaganda lewat STT dengan nama samaran. 

Saat ini, STT sedang menurunkan serial artikel dari kelompok pro-integrasi. Apa isinya, coba? Tanggapan atas hasil diskusi Sahe Study Club (SsC). Di Jakarta, kelompok diskusi ini menerbitkan hasil diskusi mereka, yang kemudian dibukukan dengan judul "Jebakan Integrasi". Buku kecil itu selain disebarkan di Indonesia juga beredar meluas di Timor Timur. Membaca judul buku itu tentu gampang ditebak apa isinya. Kupasan dari orang-orang muda asal Timor Timur dan sejumlah aktivis dari Indonesia ini, tentunya merupakan upaya menelanjangi konsep DOK TT yang menurut mereka nggak berbeda dengan zaman integrasi.

Kalian tahu, aku membeli buku itu dari seorang anak penjual koran di Colmera. Ketika ada temanku yang juga bermaksud membeli buku itu, aku tak berhasil menemukannya lagi. Buku itu memang laris bak kacang goreng. Ketika aku tengah membeli kue di sebuah bakery, aku didekati seorang anak. Dia menanyakan, apakah aku mencari sesuatu. Ah, rupa-rupanya mereka tak berani menjual buku itu terang-terangan. Kata Manuel, pernah ada penjual buku itu ditampar polisi. Kenapa? Ya, gara-gara menjual buku itu. Padahal apa sih salahnya menjual buku di jalanan? Rasanya aku tak perlu menjelaskannya pada kalian.

Ri, salam kamu untuk Manuel sudah aku sampaikan. Lama juga aku tak pernah berjumpa dengan Neves dan Jose. Mereka pasti pulang ke kampungnya masing-masing. Meskipun aku merasa kehilangan, tapi aku mengerti betul kenapa mereka harus pulang kampung. Kata Neves, mereka punya kewajiban untuk memberi semangat rakyat Timor Lorosae, agar mereka berani datang  sebagai pemilih saat referendum nanti. Kalian yang tak melihat langsung tentu heran kenapa rakyat Timor Lorosae membutuhkan keberanian hanya untuk mendaftar. Pastilah banyak aktivis, laki-laki maupun perempuan melakukan apa yang dikerjakan oleh Manuel, Neves dan Jose. Ya, karena referendum 'kan hanya sekali saja, tidak seperti pemilu di Indonesia. Melihat begitu gencarnya pihak pro-otonomi melakukan pemaksaan terhadap rakyat Timor Lorosae, Manuel  pernah mengeluh. "Aduh, bagaimana kalau kami kalah, ya." Aku hanya tertawa ketika itu. Bagaimana Manuel tak was-was kalau Pemerintah Indonesia dengan berbagai cara mencoba memaksakan kehendaknya. Memaksa agar rakyat memilih otonomi. Menurut aku, Pemerintah Indonesia pasti tak rela jika Timor Timur lepas dari Indonesia. Lewat berbagai cara mereka aktif menteror masyarakat. Bukan hanya milisi yang diwajibkan menakut-nakuti rakyat tapi juga bupati, camat, bahkan gubernur. Duh, sungguh memalukan ya.

Untuk pergi ke tempat pendaftaran saja mereka memerlukan keberanian yang  luar biasa, lho. Penduduk sipil yang punya hak pilih diteror oleh aparat maupun oleh milisi. Ada saja cara mereka untuk menakut-nakuti. Ada milisi yang menjaga di setiap jalan menuju tempat pendaftaran, ini terjadi di Kabupaten Ermera. Maksunya apalagi kalau bukan menghalangi orang pergi ke sana. Aku baru tahu dari Manuel, bahwa ayahnya Jose diancam oleh milisi yang merajalela di kampungnya. Katanya, rumah keluarga mereka diobrak-abrik. Itu gara-gara keluarga Jose adalah pendukung kemerdekaan.

Jok, Pemerintah Indonesia 'kan sadar betul ketika menandatangani kesepakatan dengan Pemerintah Portugal, yang kemudian dikenal sebagai Kesepakatan 5 Mei itu.  Mereka tahu persis bahwa hanya petugas dari UNAMET yang bertindak sebagai panitia penyelenggara referendum. Tapi apa yang terjadi? Sejumlah aparat melarang mereka yang berhak memilih itu mendaftarkan pada petugas dari PBB, tapi mereka mendatangi rumah-rumah penduduk, mencatat agar memilih otonomi. Atau, kalau rakyat sudah mendaftar, mereka ditakut-takuti jika nanti menolak otonomi. Katanya, jika memilih merdeka rakyat akan dibunuh atau dikubur hidup-hidup. Ini tak masuk akal.  Bahkan Lopes da Cruz telah berkoar-koar, kalau pro-kemerdekaan menang maka darah akan mengalir tapi kalau pro-otonomi yang menang, darah hanya menetes saja di Timor Timur. Kalian tahu kan maksud duta besar keliling yang baru saja meluncurkan otobiografinya itu?

Di Dili pun pasti banyak teror semacam itu. Jadi jangan kalian bayangkan intimidasi hanya terjadi di daerah. Kalau malam aku sempat mendengar bunyi tembakan. Meskipun bukan hanya sekali tapi setiap terdengar bunyi letusan senjata api  selalu membuat aku deg-degan. Pertanyaanku sepertinya tak ada yang bisa menjawab, "ada apa dan di mana itu terjadi". Beberapa temanku di sini menganggapnya biasa. Seperti tak pernah terjadi apa-apa. Aneh, menurut kalian? Tidak aneh, karena mereka telah diteror selama hampir 24 tahun. Bagi aku aneh sekali kejadian hari Jum'at lalu. Aku diberitahu Collin, kalau ada korban akibat tembakan di Caicoli. Beberapa teman yang sudah ke sana, pulang dan mengatakan tak ada apa-apa. Aku penasaran, lalu mengajak seorang teman. Di tengah jalan ada yang mengatakan, kejadian itu di Mercado Lama. Mercado itu pasar, Jok. Eh, ternyata juga sepi-sepi saja. Tak ada seorang pun yang tahu di mana asal tembakan itu. Pertanyaan itu baru terjawab, setelah aku membaca koran keesokan paginya.  Ternyata, tembakan itu datang dari arah Detasemen Peralatan (Denpal) Dili, yang terletak di Desa Mascarenhas, jalan raya Balide. Katanya, tembakan itu diletuskan oleh anggota TNI Denpal sendiri. Nah, lho ...

Kejadian-kejadian jenaka, menurut istilah kamu, Ri, banyak bener terjadi di sini. Ada hal yang sampai saat ini tak aku pahami. Di pos penjagaan yang ada di dekat rumah kami, misalnya. Kadang-kadang, kalau malam hari aku melihat, tentara yang berjaga-jaga di sana membawa senjata panjang. Ngeri juga sih, tapi aku berpikir, mereka itu menjaga apa atau siapa musuh mereka. Dan kamu tahu, semua kampung di wilayah Timor Lorosae itu selalu ada pos penjagaan. Kalau dihitung, pasti ribuan jumlahnya.  Aku belum cerita ya, dalam perjalananku ke Baucau beberapa waktu lalu, aku melihat begitu banyak pos tentara di pucuk bukit yang sepi. Sama juga dengan pos penjagaan yang ada di kampung-kampung itu. Bedanya, tentara yang ada di sekitar rumah penduduk  bisa ketemu orang lain dan masih bisa bebas. Sedangkan yang di bukit-bukit itu? Kalau yang jauh dari perkampungan, mereka disediakan tong-tong air di pinggir jalan, ada dua atau tiga drum air untuk mereka. Katanya, air itu diisi oleh petugas Dinas PAM tiga hari sekali. Aku membayangkan, kok seperti Bona, anjing kamu itu, Ri. Hanya bisa minum di tempat yang disediakan. Aduh, tentara-tentara itu pasti senewen. Mereka tinggal di pos kecil, tanpa tetangga, apalagi bacaan. Mereka stes bukan hanya karena  terpisah jauh dari keluarganya. Tapi disuruh jaga nggak jelas apa yang dijaga, mereka cuma diperintahkan mengamankan negara dari GPK.

Kalian tahu 'kan mulai Sabtu lalu, kampanye untuk memenangkan referendum sudah dimulai. Ri, aku penasaran kayak apa sih kalau  kelompok pro-otonomi pamer massa. Acara mereka diadakan di lapangan Merdeka di Comoro.  Ternyata mengecewakan sekali, aku bayangkan acara mereka akan  heboh dan riuh rendah. Bendera merah putih memang ada di mana-mana, tapi acara itu ternyata biasa-biasa saja. Biasa maksudku, pendukung mereka yang diangkut dengan bus kota atau truk itu diam saja. Cuek bebek, menurut istilah kalian. Mereka kayak nggak tahu apa-apa meski ada yang berkalungkan kain merah putih dan ada band yang mengiringi penyanyi. Aku lihat ada ibu-ibu seperti baru pulang dari pasar duduk di mikrolet, ada juga yang duduk di bawah pohon tanpa tahu ia sebenarnya disuruh apa.  "Sejak pagi, orang-orang yang berdiri di pinggir jalan di Caicoli dan sekitarnya diminta untuk naik kendaraan yang telah disediakan. Tapi banyak yang menolak ketika tahu akan diajak ke Comoro," kata sopir taksi.

Di perempatan Comoro sejumlah pemuda  yang mengenakan kaos putih, di punggungnya bertuliskan "simu otonomi" [menerima otonomi], membagian selebaran bertuliskan "O Hanoin Tan Sa Ida Otonomia Mak Dalam Diak Liu" [Kamu pikir apa lagi, otonomi jalan terbaik]. Selebaran ini juga masih disebarkan di kawasan Farol pada malam harinya. Semula aku pikir, ada apa kok ada mobil yang ngebut. Eh, rupanya ada yang membuang kertas-kertas putih itu.  Ada  beberapa pemuda yang tengah duduk-duduk di tepi pantai Farol itu mengambilnya, tapi segera membuangnya kembali.

Yang menarik  adalah pertemuanku dengan seorang laki-laki setengah baya. Ia hanya menatap  ke arah kami berdiri di pinggir lapangan.  Aku mencoba menyapa  dalam bahasa Tetun yang patah-patah. Tio Alex itu bercerita panjang lebar tentang kehadirannya pada acara itu. "Sebagai orangtua di daerah ini, saya  harus datang. Ketika diberi merah putih ya saya terima saja, tapi saya mau merdeka," katanya lirih. Aku tahu Tio Alex jujur mengatakan apa yang ia  inginkan. Bukan karena ia pernah bergabung dengan Falintil sampai dengan tahun 1991. Tapi, ia ingin bebas dari penjajahan yang dibungkus dengan kata: integrasi.

Tio Alex  tak sendirian. Aku menjumpai ribuan rakyat Timor Lorosae yang hadir pada  acara yang diadakan di Lecidere pada Minggu pagi tadi. Kelompok pro-kemerdekaan menandai kampanye hari kedua dengan membuka kantor CNRT Conselho Nacional da Resistencia Timorrense, Dewan Nasional  Perlawanan Timor]. Saat bendera berwarna biru, hijau, putih dan hitam itu dikibarkan, aku melihat begitu banyak orang yang menangis. "Ini saat yang kami tunggu-tunggu selama hampir 24 tahun." Tua-muda, laki-laki dan perempuan tumpah ruah  di kawasan pinggir laut itu. Mereka menyanyikan lagu: Funu Na'in Falintil sambil mengepalkan tangan kanan ke dada sebelah kiri.  Inti lagu perjuangan itu adalah  "Falintil berjuang untuk membebaskan rakyat Timor Lorosae dari imperialis dan kolonialis Indonesia dengan menyerahkan jiwa dan raganya, untuk mencapai kemenangan. Indonesia tak akan memerintah kita".

Aku tahu banyak yang datang dari luar Kota Dili. Mereka duduk-duduk di pantai, menggelar tikar, membawa bekal makan siang. Dan tentu saja wajah mereka cerah-ceria. Baru kali ini aku menyaksikan hari Minggu yang tidak senyap di Dili. Di jalan-jalan begitu banyak orang berjalan kaki atau  mengendarai motor dengan gembira. Kalau kompleks pertokoan tutup, bukan karena mereka takut akan terjadi kerusuhan. Toko-toko di Dili memang banyak yang memilih tutup pada hari Minggu.

Riri, kalau kamu hadir di tengah-tengah mereka, kamu tak perlu melontarkan pertanyaan: benarkah rakyat Timor Lorosae menginginkan kemerdekaan. Kampanye macam apa yang akan mereka adakan, tanya kamu lagi. Menurut aku, mereka tak perlu kampanye lagi apalagi dengan mengerahkan massa sebagaimana yang biasa kita saksikan di Indonesia.  Bukankah selama hampir 24 tahun rakyat Timor Lorosae  telah melakukan kampanye?

Duh, kelabunya suratku kali ini, ya? Bener, Ri, di sini nggak ada yang pantas ditertawakan. Karena itu barangkali, kamu menganggap aku berubah jadi serius. Malam ini aku sendirian di rumah. Sesungguhnya aku was-was juga tak ada siapa-siapa di rumah. Seperti juga kita di Jakarta, kehadiran tentara di sekitar kita 'kan malah membuat kita tak merasa aman, apalagi di Bumi Lorosae ini.  Tapi, mau apa lagi. Tiga temanku bepergian ke luar kota. Aku nggak bisa ikut mereka  pergi ke beberapa daerah, karena beberapa hari ini aku demam. Aku khawatir, jangan-jangan sakit malariaku kambuh. Masih ingat kan, aku pernah terserang malaria sepulang dari Timor Timur, empat bulan lalu.

Udahan dulu ya, suratku kali ini. Ada suara motor berhenti di depan rumah. Mungkin, Victor adiknya Neves  yang datang. Ia berjanji akan  menemani aku malam ini.  Ah, aku jadi lapar karena dia berjanji akan membawa ikan bakar kesukaanku untuk makan malam. lain kali  aku tulis surat lagi. Tapi, kalian jangan berharap  minggu depan suratku akan kalian terima. Kalian tahu 'kan, aku paling males menulis surat. Salamku untuk Dimas dan Andre. Katakan, aku kangen sama mereka.

Dili, 15 Agustus 1999

Peluk dan cium,

Pratiwi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prinsipius Doutrina Sosial Igreja No Prinsipius Filozofikus -Ideolojikus Fretelin

Medisina Sosial iha Timor-Leste

East Timor Revisited: Ford, Kissinger and the Indonesian Invasion, 1975-1976