Francisco Borja da Costa (1946-1975): Penyair Pembebasan Nasional Timor Timur
"Pagi itu
menjadi gelap, matahari terhalang pasuskan payung yang diterjungkan dari
kapal-kapal terbang. Seorang laki-laki muda, kurus, berambut panjang
berlari-larian. Tanganya membawa sebundel kertas ketikan. Kumpulan puisi
yang diketiknya pada beberapa tahun terakhir."
Oleh Nugraha Katjasungkana
Borja da Costa |
Laki-laki ini, Francisco Borja da Costa, baru beberapa bulan kembali ke Dili. Ia pengurus pusat FRETILIN (Frente Revolusionaria de Timor Leste Independente, Front Revolusioner Kemerdekaan Timor-Timur) yang bertanggungjawab menyebarkan gagasan dalam kegiatan pembebasan nasional Timor-Timur. Bersama penyair-penyair lain, ia sehari-hari bekerja keras menciptakan puisi dan lagu memberikan ilham dan penjelasan kepada rakyat banyak
Francisco Borja da Costa, dilahirkan di Fatuberliu, Same, di pesisir selatan Timor-Timur yang penduduknya berbahasa Tetum Terik pada 14 Oktober 1946. Putra Liurai (penguasa lokal) Same ini, seperti banyak anak-anak golongan penguasa tradisional pada saat itu, mengikuti pendidikan sekolah dasar Postugis yang dikelola oleh pastor-pastor Jesuit di Soibada yang terpencil. Masa itu pemerintahan Portugis sedang memperluas pendidikan untuk pribumi, dengan maksud memperadabkan mereka. Setamat sekolah dasar ia memasuki sekolah pendidikan pastor, Seminari Dare, diperbukitan belakang Dili. Pada usia 13 tahun, Borja melahap banyak buku berbahasa Portugis. Maklum tulisan berbahasa Tetum hanya dikenall di kalangan pastor dan antropolog. Ketentuan pemerintah bahkan melarang penggunaan bahasa ini di sekolah. Menulis puisi juga menjadi kegemaran masa remajanya. Setelah dewasa ia menyebut puisi masa remajanya sebagai puisi subjektif. Suatu saat ia pernah menyatakan keinginannya untuk menjadi guru. Tetapi ayahnya tidak setuju karena menganggap sang anak pikirannya terlalu liar.
Pada tahun 1964, selesai pendidikan seminarinya di Dare, ia bekererja pada dinas pemerintahan di Dili. Pada masa inilah perhatiannya meluas. Ia mulai memperhatikan nasib buruk rakyat Timor akibat kolonialisme Portugis. Kesadarannya semakin meningkat ketika pada 1968-1971 ia menjalani dinas wajib militer yang berlaku bagi semua orang Timor yang berpendidikan. Menurut pengakuannya, dinas militer membuatnya berani mengungkapkan dikriminasi yang dialami orang Timor.
Selesai menjalani dinas militer, ia kembali ke dinas pemerintahan. Tetapi kepekaannya sekarang sudah tinggi. Ia secara pribadi melakukan penyelidikan tentang praktek diskriminasi terhadap orang Timor di dalam dinas pemerintahan.
Sementara itu di Dili sekelompok pelajar sekolah menengah dan pegawai pemerintahan membentuk kelompok anti-kolonial bawah tanah. Orang-orang yang kemudian menjadi pemimpin gerakan nasionalis seperti Nicolao Lobato (anak liurai dari Soibada), Mari Alkatiri (seorang Arab Muslim dari kampung Alor, Dili), Jos Manuel Ramos Horta (anak pasangan perempuan pribumi Timor dengan seorang Portugis buangan politik) mengadakan pertemuan-pertemuan secara ilegal. Mereka dan orang-orang anti-kolonial menggunakan majalah Gereja Katolik Seara, untuk menjadi arena debat tentang keadaan rakyat Timor dengan masalah-masalah kebudayaan dan politiknya. Meskipun tidak menyumbang tulisan, Borja mengikuti debat ini dengan bergairah. Ia juga berhubungan dengan kelompok anti-kolonial bawah tanah.
Tulisan-tulisan dalam Seara tidak luput dari pengawasan PIDIE (Polisia Internacional e Defesa do Estado, Polisi Internasional Pertahanan Negara), yang menyusipi semua segi kehidupan masyarakat. Seara pun dilarang terbit, akibat memuat sebuah tulisan yang disusun oleh Francisco Xavier do Amaral (kemudian menjadi ketua ASDT/FRETILIN pertama dan Presiden Republik Demokratik Timor Timur), tentu saja dengan nama samaran. Pemerintah juga membuang sejumlah orang.
Selain untuk mengikuti pendidikan universitas, mungkin juga karena menghindari penagkapan, Boirja da Costa pergi ke Lisabon, Portugal tahun 1973. Di sana ia tinggal di Casa dos Timorense (Wisma Timor), bergabung dengan orang-orang timor yang telah berkembang menjadi kelompok nasionalis anti-kolonial. Di sinilah Borja mengalami perkembangan kesadaran politik yang pesat. Apalagi pada 25 April 1974 pecah Revolucao dos Cravos (Revolusi Bunga) menggulingkan rezim fasis Caetano. Kejadian ini membawa pengaruh yahng sangat besar. Di Timor Timur orang banyak untuk pertama kalinya mengenal kehidupan politik baru, dengan lembaga yang sama sekali baru (partai politik) dan ide-ide baru seperti decolonizacao, independencia, liberta o nasional, dan revolucao, pemahaman baru tentang Timor Timur sebagai satu bangsa, dan digunakannya Maubere dalam pengertiannya yang baru sebagai identitas kebangsaan.
Setelah di Timor berdiri ASDT (Associacao Social Democratica Timorense) pertai kedua di Timor Timur, orang-orang Casa dos Timorense (yang telah menjadi nasionalis radikal itu) segera membangun kontak dengan mereka. Borja pun giat mempublikasikan keberadaan partai ini.
Secara pribadi, Revolusi Bunga memberi kebahagian tersendiri kepada Borja da Costa. Bacaan-bacaan yang dulunya dilarang sekarang bebas didapatkan. Ia pun melahap karya penulis-penulis yang kemudian sangat mempengaruhi pemikirannya. Menurutnya, yang paling mengesankan adalah tulisan Bertolt Brecht, Pablo Neruda, Maxim Gorky, puisi-puisi karya Mao Zedong, dan tulisan-tulisan Marxis. Borja juga membawa karya-karya penyair terkemuka negeri-negeri Afrika jajahan portugis seperti Agostinho Neto, Jorge Rebelo, Samora Machel, dan mendiang Amilicar Cabral yang juga pemimpin gerakan pembebasan nasional di negerinya masing-masing.
Di masa ini, selain menulis puisi-puisi yang mengungkapkan harapan baru bagi negeri dan rakyatnya, Borja menyelenggarakan berbagai macam forum di Casa dos Timorense.
Sebagian aktivis Casa dos Timorense pulang ke timor untuk menjalankan kegiatan pemberantasan buta huruf menggunakan metode conscientizao yang dikembangkan Paulo Freire, pendidik Brasil. Di bawah pimpinan Antonio Carvarinho alias Mau Lear (seorang mahasiswa filsafat), mereka menyusun buku panduan pemberantasan buta-huruf berjudul Rai Timor Rai Ita Nian (Timor Negeri Kita). Masih di lisabon, Borja melakukan kerjasama dengan Abilio Araujo (mahasiswa ekonomi) untuk menggubah lagu-lagu yang diperkenalkan kepada rakyat Timor sebagai bagian dari kegiatan pemberantsan buta-huruf.
Nyanyian seperti Foho Ramelau, Kdadalak, dan Kolele Mai ditulis syairnya oleh Borja da Costa dan digubah lagunya dengan nada pentatonis oleh salah seorang teman lainnya, Abilio de Araujo untuk membangkitkan kesadaran nasional rakyat Timor. Dalam hal ini, pemikiran Amilicar Cabral dari Guin Bisau e Cabo Verde membayangi mereka. Cabral berpendapat bahwa rakyat jajahan adalah rakyat yang sejarahnya diputus oleh kolonialisme/imperialisme. Karena itu perlawanan menentang kolonialisme adalah upaya merebut kembali sejarahnya dari tangan kolonialis. Baginya, kebudayaan adalah bagian dari sejrah dan perjuangan hidup sehari-hari rakyat. Kebudayaan … tumbuh dan mandeg bersama pertumbuhan dan kemandegan seluruh masyarakat, tulisanya dalam National Liberation and Culture. Karena itu pembebasan nasional dari kekuasaan kolonialis/imperialis adalah tindakan kebudayaan. Dalam pembebasan nasional terkandung pengembangan kebudayaan rakyat, yaitu kebudayaan baru yang melampaui kebudayaan suku-suku. Kebudayaan baru ini, menurut Cabral, harus mampu menemukan nilai-nilai positif dari setiap golongan masyarakat, dan mempertemukan nilai-nilai ini untuk perjuangan dengan memberinya dimensi baru, dimensi nasional. Nilai-nilai rakyat dikembangkan dan dilestarikan dalam konteks nasional, dalam rangka memajukan persatuan dan keserasian di antara berbagai kelompok yang memungkinkan mereka melakukan identifikasi dengan tujuan bersama mencapai kebebasan dan kemajuan.
Dengan latar belakang seperti itu, aktivis-aktivis kebudayaan Timor Timur berusaha menggali kembali tari-tarian dan lagu-lagu tradisional sari suku-suku yang ada untuk dikembangkan menjadi kebudayaan nasional yang memberinya identitas lebih tinggi daripada yang dikenal rakyat, yaitu identitas kesukuan. Lagu Kolele Mai dari daerah Baucau diperkenalkan ke seluruh pelosok Timor Timur. Lagu tradisional memberi kemungkinan yang besar karena tradisi, kata-kata itu tidak baku, tetapi bisa diubah sesuai dengan keadaan dinyayikannya. Borja da Costa mengubah syair lagu ini sehingga pesannya mempertanyakan dan menggugat kemiskinan dan penderitaan rakyat di bawah kolonialisme. Jill Jolife, dalam kata pengantarnya untuk Revolutionary Poems in the Struggle Against Colonialism: Nasionalist Verses of Francisco Borja da Costa (1976) menyatakan bahwa Borja berhasil mengawinkan dalam karya-karyanya bentuk puisi tradisional dengan gagasan-gagasan nasionalime modern. Contoh keberhasilan lain adalah lagu Foho Ramelau yang kemudian menjadi lagu Revolusi FRETILIN. Syairnya menggunakan bentuk puisi tradisional dan imaji-imaji yang dikenal rakyat desa-desa di seluruh Timor Timur untuk mengungkapkan gagsan nasionalis: kemerdekaan bangsa Timor Timur.
Loke matan loro foun to’o iha o knuak
Loke matan loro foun iha ita raim
Hader kaer rasik kuda talin eh!
Hader ukun rasik ita rain eh!
Buka mata, matahari baru memasuki desa
Buka mata, matahari baru tiba di negeri kita
Bangkit! Rain tali kendali kuda
Bangkit! Kendalikan negeri kita
Sekembali ke Timor pada akhir 1974, Borja di percaya menjadi sekertaris informasi Komite Sentral FRETILIN. Ia semakin sibuk menyebarluaskan gagasan kebangsaan kepada rakyar Timor yang masih terpecah ke dalam suku-suku dan kelompok-kelompok bahasa. Ketika ditanya oleh jurnalis Australia yang menjadi teman akrabnyam Jill Joliffe, apa yang akan dilakukakannya setelah Timor Timur merdeka, jawabnya: meneruskan pendidikan linguistik dan etnologi. Pilihannya ini mencerminkan kesadarannya bahwa masalah identitas nasional belum akan selesai ketika Timor Timur secara resmi Merdeka.
FRETILIN dengan berbagai kegiatannya di kalangan rakyat seperti pembebasan buta-huruf, produksi pertanian secara koperasi, pengembangan kesehatan masyarakat, dan sebagainya membuat dukungan rakyat padanya semakin besar. Penguasa militer di Indonesia mengkhawatirkanya sebagai basis komunis di halaman belakangnya. Ali Moertopo dengan OPSUS-nya berhasil meyakinkan UDT bahwa Timor Timur tidak akan bisa merdeka selama masih ada FRETILIN. Dengan nama sandi Movimentu Revolusionaria Anti-Comunista pada 11 Agustus 1975 UDT melancarkan kup yang disertai dengan operasi pembersihan terhadap FRETILIN. Tetapi FRETILIN melakukan perlawanan dengan mengajak orang-orang Timor yang menjadi tentara Portugis. FRETILIN menang. Indonesia pun mempergencar aksinya. Di perbatasan, pasukan-pasukan komando dipimpin Kolonel Dading Kalbuadi dari Kopasanda (sekarang Kopassus) melancarkan penyusupan-penyusupan dari sepanjang perbatasan. Bulan Oktober kota Balibo mereka duduki. Untuk mencegah invasi, FRETILIN mengumumkan kemerdekaan pada 28 November 1975. Dalam upacara ini, dinyayikan lagu kebangsaan, Hino Nacional yang syairnya ditulis oleh Borja da Costa. Sang penyair mengabadikan mata acaranya dalam sebuah puisi Um Minuto Silencio yang menyerukan keheningan semesta alam Timor Timur dengan sangat indah.
Tanggal 7 Desember, sembilan hari setelah proklamasi, tentara Indonesia melancarkan serbuan besar-besaran. Francisco Borja da Costa kepergok seregu pasukan parakomando. Ia pun ditangkap, kemudian disiksa dan dibunuh. Sang penyair gugur pada usia 29 tahun sambil membawa kumpulan puisinya.
Serbuan dan pendudukan militer Indonesia menghalangi pembebasan nasional rakyat Maubere. Namun api yang dikobarkan oleh Francisco Borja da Costa tidak berhasil dipadamkan. Sampai hari ini Kolele Mai, Foho Ramelau, dan lagu-lagu lain yang disebarluaskan oleh gerakan pembebasan nasional Timor Timur terus dinyayikan dibalik pintu-pintu tertutup rapat di knua-knua pedalaman Timor Timur, di lingkaran-lingkaran klandestine di kota-kota, di kalangan masyarakat Timor Timur di pengasingan (rock band Midnight Oil menyanyikan dan merekam Kolele Mai versi mereka sebagai ungkapan solidaritas). Tarian tebe-tebe ditampilkan pada demonstrasi-demosntrasi pemuda Timor Timur di Surabaya, Yogyakarta, Jakarta menuntut tentara Indonesia pergi dari Timor Timur. Yang semua adalah tindakan kebudayaan rakyat yang sedang membentuk identitasnya sebagai bangsa.
Diketik ulang dari tulisan asli yang dimuat di malajah Media Kerja Budaya (MKB) edisi November-Desember 1999
Komentar
Posting Komentar