Pratiwi: Catatan Perjalanan di Bumi Lorosae (1)
Dear Joko dan Riri,
Diak kalae? Dalam bahasa Tetun, bahasa nasional rakyat Timor Timur, diak kalae artinya apa kabar. Kabarku di Dili baik-baik saja. Aku doyan banget masakan khas Timor Timur, seperti batar fai. Kalian pasti bertanya, masakan apa itu. Ah, ternyata makan jagung tumbuk yang dimasak dengan kangkung dan aidila funan (bunga pepaya) itu enak sekali. Apalagi kalau dicampur dengan ai-manas. Kalian pasti bingung ya mendengar nama-nama yang aneh di telinga kita. Ai-manas itu sambal. Tapi jangan kalian bayangkan seperti sambal yang biasa kita buat di Jawa. Sambal itu pedas sekali. Hmm … meskipun pedas sekali tapi menambah selera makan kita. Di surat mendatang, aku akan mengirim resep bagaimana membuat ai-manas itu.
Kalian jangan panik selama aku berada di Timor Timur. Di sini aku merasa betah meskipun kadang-kadang ngeri juga. Syukurlah aku berhasil menemui tiga teman lama. Mereka bernama Manuel, Jose dan Neves. Mereka baik-baik dan selalu menemani ke mana aku pergi. Saya pernah bertemu dengan Manuel dan Jose ketika mereka kuliah di Yogya sedangkan Neves sempat kuliah di Jakarta tapi ia tidak meneruskannya. Katanya, biayanya terlalu mahal. Sebenarnya Neves pernah mendapat beasiswa dari Pemerintah Daerah Tingkat I Timor Timur. Maklum, Neves lulus seleksi untuk mendapat beasiswa ketika dia lulus SMA di Dili tahun 1989. Eh, nggak tahunya beasiswanya dihentikan oleh Pemda tahun 1995, gara-gara dituduh sering terlibat dalam organisasi yang sering demonstrasi di Jakarta. Cerita tentang mereka seperti ketika Bung Hatta dan kawan-kawan seusianya dikuliahkan di Belanda. Saat itu, Bung Hatta bersama kawan-kawannya itu mendirikan Perhimpunan Indonesia untuk melawan 'kumpeni'. Ceritanya mirip dengan apa yang dilakukan Manuel dan Neves. Menurutku, apa yang mereka lakukan itu wajar saja. Dari merekalah aku mulai tahu bagaimana keadaan di Timor Timur. Gila bener ketika mereka masih di Jawa. Kawan-kawan itu hanya mampu makan mie instant hampir setiap hari, tapi mereka nggak pernah berhenti mikirin demonstrasi melawan pemerintah kita.
Kata Manuel, semula jagung adalah makanan pokok rakyat Timor Timur, selain nasi yang dikonsumsi orang kota. Eh, ternyata makanan di desa banyak ragamnya. Ada aifarina (singkong), fehuk (ubi jalar), dan kumbili, sejenis umbi yang katanya enak. Yang terakhir ini, kata Manuel nggak ada di Jawa. Aku tahu dia bohong. Kalau tidak salah namanya gembili. Kulitnya cokelat muda dan kalau dimakan rasanya kayak ketan. Bener ya?
Tapi setelah Indonesia mengaku bahwa Timor Timur menjadi bagian dari negara kita, mereka dipaksa makan beras. Jagung, aifarina,fehuk, kata pejabat-pejabat Indonesia diawal tahun 76-an kepada orang Timor Timur, tidak bergizi. Karena itu orang Timur Timur diharuskan makan beras. Kata para pejabat kita itu, jagung, singkong dan ubi jalar itu makanan orang desa. Joko pasti tersinggung karena dia kan dari desa ya? Jok, kampung kamu di Purworejo atau Kutoarjo? Jangan marah ya. Jangan cerita soal makanan terus, ah. Aku jadi laper. Terus terang, aku nggak berani nongkrong di warung pinggir jalan seperti kebiasaan kita. Kata temen-temen, di Dili kurang aman kalau jalan-jalan pada malam hari.
Kalian pasti tahu ya kalau hari ini pendaftaran untuk jadi pemilih penentuan pendapat sudah dimulai. Aku nggak tahu kenapa istilah "direct ballot" oleh Indonesia diubah menjadi "jajak pendapat". Mestinya 'kan dibilang saja refendum. Tapi sejak dulu, Indonesia takut menggunakan kata ini. Kita kan tahu, itu, sudah menjadi penyakit lama Indonesia untuk menghaluskan segalanya. Tadi siang, aku diajak Manuel pergi ke beberapa tempat pendaftaran. Kami naik motor. Duh, panasnya. Sepanjang jalan yang kami lalui sepi banget. Kalian pasti seneng kalau tinggal di Dili karena nggak pernah terjebak kemacetan seperti di Jakarta. Di jalan-jalan aku melihat ibu-ibu yang berpakaian bagus-bagus. Kayaknya mereka mau menuju ke tempat pendaftaran itu.
Manuel mengajakku ke sebuah bangunan yang berhalaman luas. Ternyata itu, gedung SD Katolik Santo Yoseph di Santa Cruz. Gedung sekolah ini dipilih sebagai salah satu tempat pendaftaran masyarakat Desa Santa Cruz. Kata Santa Cruz mengingatkan aku pada peristiwa pembantaian berdarah di tahun 1991. Pada tanggal 12 November 1991, sejumlah orang yang berduka berkumpul di Gereja Motael di Dili, ibu kota Timor Timur. Mereka datang menghadiri misa untuk mengenang Sebastiao Gomes, seorang aktivis pro-kemerdekaan yang dibunuh di gereja ini oleh tentara Indonesia dua pekan sebelumnya. Pembunuhan seperti itu telah menjadi peristiwa lazim sejak penyerbuan Indonesia. Tapi hari ini adalah hari berkabung yang istimewa karena arti pentingnya -- yang sebagian besar karena jurnalis-jurnalis dari Amerika Serikat dan Inggris Raya sedang meliput di sana.
Begitu misa selesai, dimulailah arak-arakan menuju Kuburan Santa Cruz, yang jauhnya sekitar satu mil dari gereja. Meskipun tentara Indonesia berjaga-jaga di sepanjang jalan, orang-orang yang berduka itu membentangkan spanduk dan meneriakkan slogan-slogan pro-kemerdekaan. Pembangkangan terbuka yang tidak lazim terhadap penguasa Indonesia itu menarik perhatian orang-orang yang tinggal dan bekerja di sepanjang jalan yang dilalui arak-arakan. Orang yang mendukung bergabung, dan arak-arakan ini pun berkembang mencapai ribuan orang.
Di kuburan, sebagian orang, termasuk keluarga Sebastiao Gomes menuju ke tempat pemuda itu dikuburkan. Sebagian lainnya menunggu di luar tembok. Mereka yang di luar inilah yang pertama menyaksikan truk-truk angkatan darat menghadang jalan kembali ke pusat kota, dan pasukan-pasukan tentara bersenjata berjalan ke arah mereka. Saksi mata Allan Nairn, jurnalis New Yorker melaporkan apa yang terjadi selanjutnya. Tanpa peringatan, dan tanpa provokasi, "Tentara mengangkat senapannya, dan membidik. Kemudian secara bersamaan mereka menembak. Laki-laki dan perempuan berjatuhan, menjerit-jerit, di jalanan, berguling-guling karena terkena peluru. Sebagian dari mereka meronta-ronta, tangan mereka ke atas. Lainnya berusaha berbalik dan melarikan diri. Serdadu-serdadu berlarian menginjak orang-orang yang jatuh dan menembak orang-orang yang masih berdiri. Mereka mengejar anak-anak muda, lelaki dan perempuan, dan menembak dari belakang." Aku membaca tulisan Allan Nairn, The New Yorker, 9 Desember 1991, halaman 41. Setelah keributan itu berakhir, lebih dari 250 orang mati dan lebih dari seratus lainnya luka. Tentara juga memukul sampai luka parah Alain Nairn dan jurnalis Amerika lainnya, Amy Goodman.
Max Stahl, seorang jurnalis Inggris dengan kamera videonya menangkap kekejaman itu, menyebut peristiwa itu sebagai "pembantaian yang berdarah dingin dan direncanakan." Saksi-saksi mata mengatakan padanya, bahwa tentara Indonesia membunuh banyak orang yang terluka di rumah sakit tentara di Dili; mereka "menghantam kepala orang-orang yang luka dengan batu besar, menabrak dengan truk, menikam, dan dengan sepengetahuan dokter memberikan obat yang sebenarnya adalah bahan kimia beracun." Coba kalian baca Max Stahl, "Massacre Among the Graves," Independent on Sunday (London), 17 November 1991. Stahl memperkirakan bahwa 50-200 orang yang luka kemudian mati dengan cara ini.
Ketika berita-berita tentang pembantaian Santa Cruz muncul di media Barat, ia memicu terjadinya kemarahan internasional. Kongres AS dan Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi-resolusi mengutuk Indonesia, sedang Belanda, Denmark, dan Kanada menunda pemberian bantuan kepada Indonesia. Tajuk-tajuk rencana yang mendukung penentuan nasib sendiri Timor Timur terbit di surat-surat kabar di seluruh negeri Barat.
Pemerintah Indonesia bertindak cepat membungkam kritik. Ia menyatakan "penyesalan" resmi atas peristiwa itu, membentuk panitia untuk melakukan penyelidikan, kemudian membebas-tugaskan dua komandan militer tinggi untuk Timor Timur (Panglima Kodam Udayana Mayor Jenderal Sintong Panjaitan dan Panglima Komando Pelaksana Operasi (Pangkolakops) Timor Timur Mayor Jenderal Theo Syafei. Pemerintah mengirim mereka ke luar negeri untuk "tugas belajar" dan menghukum sejumlah perwira rendahan dan prajurit atas karena kesalahan mereka tidak mematuhi perintah. Pemerintah juga mengirim menteri luar negeri mengunjungi AS, Kanada, dan Eropa Barat untuk memulihkan nama baik Indonesia yang rusak. Kalian tahu, saat itu di mana-mana rombongan menteri luar negeri disambut dengan demonstrasi oleh kelompok-kelompok masyarakat.
Tapi kata-kata dua perwira tinggi jelas-jelas memperlihatkan sikap sesungguhnya pemerintah. Jenderal Try Sutrisno, Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada saat pembantaian, mengatakan bahwa orang-orang Timor Timur yang berkumpul di kuburan adalah "perusuh" yang "harus digebuk." Ia menambahkan, "Orang-orang yang mengacau itu harus ditembak, dan kami akan menembak mereka." Jenderal Mantiri, panglima untuk Timor Timur setelah pembantaian Santa Cruz, mengatakan bahwa pembantaian itu adalah tindakan yang "tepat" dan menambahkan: "Tidak ada yang perlu disesalkan." Sikap tidak menyesal ini jelas dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan kepada para peserta arak-arakan Santa Cruz dan para demonstran Timor Timur di Jakarta yang memprotes pembantaian itu. Hukuman penjara itu lamanya dari lima tahun sampai seumur hidup.
Meskipun pemberitaaan media tentang Santa Cruz cukup baik di negara tetangga, tapi sangat banyak orang di sana selama berbulan-bulan masih belum mendengar sepatah kata pun tentang Timor Timur dan orang-orang yang mati di sana.
Hingga kini keluarga-keluarga korban tak tahu di mana mayat-mayat anak, kakak atau adik mereka dikuburkan. Banyak berita simpang siur mengenai keberadaan mayat-mayat itu. Ada yang mengatakan, para korban dibuang ke laut, ada yang mengatakan dikubur secara massal di suatu tempat. Yang pasti TNI tahu persis di mana mayat korban-korban itu. Aku yakin, suatu saat nanti kebohongan pemerintah Indonesia akan terbongkar. Jujur saja, aku sendiri baru tahu tentang persoalan Timor Timur yang sesungguhnya setelah terjadinya pembantaian Santa Cruz itu. Maklum selama ini, kita 'kan hanya dicekoki informasi versi pemerintah Indonesia lewat berbagai media massa yang tentunya kita tahu bahwa itu sebagai pengharum situasi politik saja agar masyarakat berpandangan itu ulah dari gerombolan liar pengacau integrasi. Pembantaian Santa Cruz semakin membuka mata dunia mengenai berbagai kekejaman yang dilakukan militer Indonesia di Timor Timur sejak 1975. Dan ironisnya, pekuburan Santa Cruz itu persis berhadapan dengan Taman Makam Pahlawan (TMP). Kalian tahu, TMP sering diplesetkan oleh orang Timor Timur sebagai "Tentara Mati Percuma". Di makam yang berukuran 100 x 100 itu di huni oleh se-ribuan tentara yang gugur untuk sebuah operasi rekayasa yakni Operasi Seroja. Di sinilah mereka dimakamkan sebagai pahlawan TNI, prajurit yang hanya mematuhi perintah Sang Jendral untuk sebuah keinginan gila yakni menguasai Timor-Timor. Dan saat itu, ratusan anak muda dibantai TNI dengan "disaksikan" oleh mayat-mayat TNI yang dikuburkan hanya dalam jarak 20 meter dari pekuburan Santa Cruz. Tentu kamu tahu, keluarga prajurit-prajurit muda yang mati di Timor Timur ini jumlahnya sudah ribuan. Dan keluarga mereka tidak pernah diberitahu informasi yang benar mengenai kematian mereka dan tidak pernah diberi kesempatan untuk menabur bunga dipemakaman mereka itu. Maklum, prajurit-prajurit itu kan pangkatnya rendahan. Beda dong dengan perwira-perwira.
Kata Manuel, di kawasan Santa Cruz setiap harinya banyak berkerumun para pelajar. Kebetulan saat ini lagi liburan sehingga keadaannya agak sepi. Pihak UNAMET akan memanfaatkan tempat ini sampai tanggal 4 Agustus 1999. Pada hari pertama pendaftaran jajak pendapat suasananya masih sepi-sepi, diperkirakan pendaftar hari pertama kurang lebih 70-an orang. Dari beberapa pendaftar yang kami jumpai, umumnya sangat antusias. Tapi, beberapa pendaftar sempat mengeluh soal surat permandian yang digunakan sebagai salah satu syarat bagi pemilih. Kata salah seorang pemilih, di Dili untuk mengurusnya diperlukan waktu sampai tiga hari. Biaya per surat permandian itu sebesar Rp. 20.000,- Kalau begitu caranya pasti banyak masyarakat yang tidak mampu membayarnya. Semoga pihak gereja bisa bisa mempercepat proses pengurusan surat-surat permandian dan mengurangi biaya pengurusannya yang dirasa terlalu mahal itu.
Setelah dari sana, kami pergi ke SMKK Becusi di Becora. Di Desa Becora ada 3 tempat pendaftaran, yaitu di Gedung SDK 7 Sabraka Laran, SDK Laulara, dan SMKK Becusi. Barangkali, karena desa ini wilayahnya cukup luas dan tempat-tempat pemukiman para penduduk umumnya belum dijangkau oleh sarana angkutan umum. Becora berjarak kurang lebih 3 km dari pusat kota. Kata petugas lokal, hari itu di SMKK Becusi, diperkirakan akan datang 150 orang. Mereka umumnya sangat antusias dalam proses pendaftaran ini. Kebanyakan yang datang di hari pertama adalah orang-orang tua dan ibu-ibu rumah tangga. Anak-anak muda dan pelajar belum kelihatan. Di tempat ini, beberapa pendaftar yang dijumpai, mereka sepertinya tidak mengalami kesulitan dalam proses pendaftaran karena persyaratan yang dibutuhkan sudah mereka miliki jauh-jauh hari sebelumnya.
Di pinggir jalan, di dekat pintu masuk gedung SMKK, duduk seorang ibu yang telah renta. Ia tak peduli teriknya matahari. Setelah aku dekati, ternyata ia hanya memegang kartu tanda penduduk yang telah kadaluwarsa sejak 1990. Ketika aku tanya, apakah ia akan ikut mendaftar atau tidak, ia hanya menjawab "Saya sudah tua, sebentar lagi mati, untuk apa ikut memilih". Mungkin, ia tak mampu membayar biaya mengurus surat permandian yang mahal itu, ya. Aku menduga pasti banyak rakyat yang tak mampu mengurusnya gara-gara biaya yang mahal itu.
Di tempat ini aku juga melihat seorang ibu muda. Usinya kita-kira sebaya kamu, Ri. Anaknya yang baru berusia sekitar 2 bulan digendong oleh neneknya, menunggu di luar gedung sekolah. Aku terharu melihat semangat Maria. Ia tak peduli kalau blusnya yang berwarna pastel itu basah oleh air susu. Maria tampak bangga membawa kartu pendaftaran berlambangkan PBB yang telah dilaminating itu. Ketika Manuel akan mengambil motor, kami juga bertemu dengan pasangan suami istri tengah baya. Suaminya memegang erat-erat map kertas berwarna merah muda. Mereka tersenyum pada Manuel dan aku. Ia bangga ketika menunjukkan dokumen yang telah lusuh. Tiu Lopes, tapi bukan si dubes keliling itu lho, berkata pada kami, ini kesempatan yang pertama dan terakhir, saya tidak ingin mengewakan anak-anak cucu saya kelak. Selama dua puluh empat tahun, kami berjuang dan perjuangan ini hanya akan ditentukan dalam satu hari. Karena itu saya ingin memberi pilihan yang terbaik dalam referendum nanti. Dengan penuh keyakinan Tiu Lopes dan Tia Durce berlalu sambil mengucapkan salam: "a luta continua". Tiu dan Tia itu sapaan di sini, yang artinya paman dan bibi. Kalian pasti sering mendengar kata-kata 'a luta continua' yang keluar dari mulut kawan-kawan Timor Timur yang sering berdemonstrasi di Jakarta. Artinya, teruskan perjuangan.
Siang itu semakin terik tapi kami bersepakat untuk melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan kami menjumpai spanduk yang dipasang di mana-mana. Ada spanduk yang bertuliskan 'Dirgahayu Integrasi' yang dibuat oleh Milisi Aitarak. Kalian tahu 'kan tanggal 17 Juli selalu dirayakan di Timor Timur sebagai hari integrasi. Menurut beberapa teman, hari yang dianggap sebagai ulang tahun Timor Timur itu selalu dirayakan besar-besaran. Ada upacara di depan kantor gubernur, ada lomba tarik tambang dan seterusnya. Aneh, ya. Tahun ini, bangunan Portugis yang dijadikan sebagai kantor gubernur dihias meriah dengan bendera merah putih. Ketika kami melewati bekas kantor Danrem juga dipajang spanduk: 'Mati Hidup Tetap Integrasi'. Sedangkan markas Milisi Aitarak yang berdekatan dengan Kantor Kodim Dili pun tak mau kalah. Temanya menurut aku sangat kontradiktif: 'Kami Berjuang untuk Integrasi Bukan Otonomi’.
Menarik nggak sih ceritaku dari Timor Timur ini? Cerita yang lain akan aku tulis di surat berikut. Besok kalau jadi, aku akan diajak Richard seorang jurnalis dari Inggris. Ia pengen melihat pendaftaran penentuan pendapat di Kabupaten Baucau. Salamku buat teman-teman di Jakarta. Mungkin suratku sering terlambat kalian terima. Aku nggak tahu apakah surat yang aku kirim lewat pos ini bisa datang tepat waktu.
Dili, 16 Juli 1999
Salam kangen,
Pratiwi
Pratiwi
Komentar
Posting Komentar