Timor Timur : Tragedi Sisa-sisa Perang Dingin
Pramoedya Ananta Toer |
Oleh Pramoedya Ananta Toer
Pada 4 September 1999 Sekjen PBB Kofi Anam mengumumkan hasil referendum di Timor Timur: 79% penduduk yang berhak memilih menghendaki merdeka lepas dari Indonesia, 21% mau tetap menjadi bagian Indonesia dengan iming-iming status otonomi luas. Mendadak sontak Jakarta geger, terkejut seperti disengat listrik berketegangan tinggi, elit politik para pendukung rejim Orde Baru "jilid II" di bawah pimpinan Presiden B.J. Habibie mulai saling salah-menyalahkan.
Para politici sekarang ramai mengunyah-ngunyah ulang nasi yang sudah menjadi bubur. Ada yang bilang seyogianya Presiden B.J. Habibie tidak membuka kesempatan menyelenggarakan referendum - bukankah Timor Timur atas kemauan rakyatnya sendiri sudah menjadi bagian integral Indonesia selama 20 tahun lebih? Begitulah kritik yang ramai kedengaran terhadap kebijakan politik B.J. Habibie, pemegang hak waris Orde Baru yang diangkat menjadi kepala negara oleh jendral Suharto, bekas Presiden yang terpaksa turun akibat demonstrasi heroik para pemuda dan mahasiswa Indonesia menentang kekuasaan represif para jendral.
Pada saat Presiden B.J. Habibie pada 27 Januari yang lalu mengumumkan referendum bagi rakyat Timor Timur dengan dua opsi: tetap jadi bagian Indonesia dengan status otonomi luas, atau berdiri sendiri lepas dari Indonesia, maka perkiraan Habibie dia sudah meluncurkan suatu set politik jenial dengan keuntungan politik ganda paling spektakuler pada dua bidang sekaligus: internasional dan nasional.
Habibie yang legitimasinya sebagai Presiden sangat rapuh karena mendapat jabatan itu tidak lewat parlemen atau proses konstitusional yang wajar, memang membutuhkan suatu stunt politik spektakuler yang mampu mengukuhkan legitimasi jabatan kepresidenan dan posisi politiknya. Menyelenggarakan referendum berarti meraih langsung dua bintang gemerlapan dalam sekali gapai. Di mata dunia internasional, di mata Amerika, di mata negeri-negeri Barat dan PBB, dia mengharapkan namanya terangkat oleh sikapnya yang "demokratis" tersebut, sampai-sampai seteru Indonesia sendiri pun, yaitu Portugal terperanjat oleh tawaran Habibie itu. Di jurus lain pada level nasional dia memperhitungkan sanjungan dan acungan jari jempol karena dia yakin sesuai kalkulasi politiknya hasil referendum akan dimenangkan oleh mayoritas rakyat Timor Timur yang mendambakan tetap menjadi bagian dari Indonesia. Dia kecelé! Kecelé yang tidak kepalang tanggung!
Hanya ada dua kemungkinan untuk menerangkan mengapa kombinasi kekuasaan Orde Baru dan pihak militer Indonesia kalah dan salah hitung total di Timor Timur. Kemungkinan pertama, pemerintah Orde Baru memang selama 20 tahun lebih membohongi seluruh dunia termasuk rakyat Indonesia, bahwa rakyat Timor Timur memang ingin sekali berintegrasi dengan Indonesia. Sekian lama kebohongan ini dipelihara dan dikembang-kembangkan sampai-sampai mereka sendiri menjadi percaya kepada kebohongan yang mereka ciptakan sendiri. Kemungkinan kedua, boleh jadi pada saat tentara Indonesia pada tahun 1975 memasuki Timor Timur, pada awalnya rakyat di sana mungkin menyambut dengan baik kedatangan tentara Indonesia. Bisa saja mereka berpengharapan nasib mereka menyatu dengan Indonesia barangkali akan lebih baik daripada di bawah Portugal. Tetapi pengalaman selama lebih 20 tahun menunjukkan kebalikannya: bukan saja keluarga Suharto berikut croniesnya menjarah kekayaan Timor Timur, tetapi lebih parah lagi serdadu-serdadu dan birokrasi Suharto menginjak-injak hak-hak azasi rakyat Timor Timur.
Saya sendiri tidak heran sama sekali atas hasil referendum di Timor Timur ini. Sebodoh-bodoh rakyat, referendum bagi mereka sudah jelas sekali artinya. Dua opsi yang ditawarkan Habibie jelas berarti memilih diinjak-injak hak-hak azasi oleh kekuasaan militeris yang munafik atau bebas merdeka mengurus diri sendiri, maka dengan sendirinya mudah diterka sebelumnya bagaimana jadinya hasil referendum itu. Sekarang elit politik kekuasaan di Jakarta berdebat ramai tentang terjadinya kesalahan strategis gara-gara B.J. Habibie dianggap keliru menyetujui referendum.
Tetapi saya berpendapat bahwa kesalahan itu bukan terletak pada keputusan pemerintah Indonesia pada bulan Januari yang lalu. Kesalahan itu sudah ada sejak awal lahirnya rejim militer Orde Baru, sejak 1965 ketika mereka menjatuhkan Sukarno, memenjarakan dan meluncurkan genocide yang tak pernah dipermasalahkan dunia Barat, kemudian kesalahan itu mereka mahkotai dengan puncak suatu kejahatan politik : menganeksasi bekas jajahan Portugal, Timor Timur di tahun 1975.
Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno mutlak tidak akan pernah berambisi meluaskan wilayah teritorial negerinya. Sukarno adalah seorang revolusioner yang visioner, pendidikan baratnya terlalu mengilhaminya dengan prinsip-prinsip demokrasi dan idee-idee Afklärung. Dia pernah mengatakan bahwa abad 20 adalah abad pembebasan bangsa-bangsa kulit berwarna dari kolonialisme. Dia sendiri pun patut dicatat dalam sejarah sebagai politikus dan negarawan satu-satunya dalam sejarah politik modern sedunia yang mempersatukan negerinya tanpa meneteskan setitik darah pun. Dalam masa persiapan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, Sukarno dengan tegas menolak memasukkan wilayah-wilayah tetangga yang bukan bekas Hindia-Belanda ke dalam wilayah Republik Indonesia. Kesatuan administratif Indonesia memang dilahirkan sebagai warisan kolonialisme Belanda, akan tetapi sebagai kesatuan politik tata-kenegaraan Sukarnolah satu-satunya pemimpin Indonesia yang mewujudkannya dengan damai. Bandingkanlah fakta itu dengan negeri-negeri lain seperti India/Pakistan, Korea, Jerman dan bandingkannya juga dengan Presiden Suharto. Jendral ini yang memulai kariernya sebagai militer didikan fascisme Jepang semasa Perang Dunia ke-II memenjarakan dan membantai jutaan rakyatnya sendiri hanya untuk membangun pemerintahannya yang dengan bangga dia namakan "Orde Baru".
Kejatuhan Sukarno tidak lain adalah produk Perang Dingin yang gila dan takut setengah mati pada momok komunisme. Aneksasi Timor Timur oleh serdadu-serdadu Suharto di tahun 1975 pun tidak lain adalah sisa-sisa produk Perang Dingin yang itu-itu juga. Bukankah Amerika dengan kesepakatan bungkam sekutu-sekutunya yang mengedipkan mata kepada jendral Suharto untuk mempersilakannya masuk menduduki wilayah Timor Timur? Alasannya: mencegah Timor Timur menjadi pangkalan komunis di Asia Tenggara.
Presiden Sukarno yang menjadi korban Perang Dingin juga pernah mengatakan bahwa abad 20 adalah abad intervensi, abad di mana kekuatan-kekuatan adikuasa dunia dengan seenaknya bisa mengaduk-aduk urusan intern negeri-negeri lain. Menerjemahkan dengan bebas kata-kata Sukarno itu, berarti bahwa paroh akhir abad 20 adalah satu era di mana kesewenang-wenangan oleh aparat negara adalah wajar dan sah, era di mana hak-hak azasi bisa diinjak-injak tanpa dikenakan hukuman (impunity). Era ketidak-adilan yang suci, era munculnya tiran-tiran militer resmi dan sah yang diakui dan dihormati Amerika dan negeri-negeri Barat, asal saja mereka tampil atas nama demokrasi demi pembasmian Saukarno dan komunisme.
Seusai Perang Dunia ke-II, Amerika Serikat mengucurkan dana dan bantuan ekonomi besar-besaran lewat apa yang dinamakan "Marshall Plan" untuk membangun kembali ekonomi dan ketahanan politik di negeri-negeri Eropa Barat menghadapi bahaya komunisme. Tetapi untuk negeri-negeri berkembang atau negeri-negeri Selatan, Amerika Serikat menerapkan rumus lain: tegakkan dan dukung rejim-rejim militer lokal! Maka mulailah berjalan scenario intervensi besar-besaran di negeri-negeri berkembang, mulailah pula munculnya tokoh-tokoh jendral yang mendadak menjadi politikus seperti Mobutu dan Suharto. Berjatuhanlah secara bergilir Lumumba, Modibo Keita, Nkrumah dan di puncak di atas segalanya itu: Sukarno.
Memasuki abad baru dan melinium baru, kiranya sekaranglah moment paling tepat saya mengimbau kepada segenap masyarakat beradab di dunia: hentikanlah rumus-rumus usang sisa-sisa wawasan Perang Dingin bahwa kestabilan politik di dunia ketiga mutlak harus berada di tangan diktator-diktator militer lokal! Masa itu sudah harus lewat! Maraknya semacam adagium di dunia ketiga bahwa "militer adalah agent of modernization, agent of progress and stabilization" tidak lain adalah reifications produk Perang Dingin, abstraksi-abstraksi yang direkayasa sedemikian rupa sehingga slogan-slogan kosong itu seakan-akan merupakan kenyataan kongkret yang tidak bisa dihindari.
Saya melihat bahwa Amerika dan negeri-negeri Barat sampai detik ini masih mengandalkan stabilisasi politik di Indonesia tetap ditangani kekuatan militer di bawah jendral Wiranto dengan kendaraan politiknya juga masih tetap pada partai Golkar yang menjagokan B.J. Habibie sebagai calon Presiden. Mudah diramalkan bila Amerika dan negeri-negeri Barat tetap berpegang pada patron-patron lama semasa Perang Dingin seperti itu, dan tidak mampu tampil dengan paradigma baru dalam wawasan politik mereka terhadap dunia ketiga atau negeri-negeri Selatan, maka sikap itu akan menjadi kontra-produktif bahkan menjadi bumerang yang akan merugikan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik mereka sendiri.
Apakah paradigma baru itu? Masyarakat madani demokratis! Orang-orang militer jadilah militer professional, dan berhenti main politik. Khusus kepada masyarakat Jerman yang mungkin bangga melihat seorang alumnus universitas Jerman menjadi Presiden di Indonesia, ada baiknya mengetahui bahwa B.J. Habibie sebenarnya mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu yang baik pada saat dia menggantikan Suharto, sebab kekuasaan ada di tangannya. Akan tetapi sudah sejak awal dia sendiri yang melempar ke comberan kesempatan terbuka itu. Dia bukan memisahkan diri dari warisan lama Suharto, sebaliknya dia malah meng-endorse seluruh kebijakan Suharto yang ditolak oleh rakyat, pemuda dan mahasiswa.
Saya sendiri bukan pendukung apalagi pengagum Megawati, tetapi Habibie saya anggap membikin kesalahan prinsipil dalam azas demokrasi yang berkaitan dengan PDI. Paling fatal: dia tetap mengakui partai PDI boneka yang diciptakan Suharto dan justru mengucilkan partai PDI dukungan massa di bawah Megawati, selanjutnya dia menggantungkan diri pada jendral-jendral yang tetap setia pada Suharto. Setelah pemilihan umum bulan Juni yang lalu, ternyata partai PDI Megawati ini muncul sebagai partai terbesar.
Saya berbahagia dan mengucapkan selamat atas kekalahan politik Suharto-Habibie di Timor Timur, selamat kepada rakyat Timor Timur membangun suatu negara merdeka : Republik Timor Loro Sae. Itulah negara dan tempat yang tepat untuk mengadili Suharto dan para jendral yang mempunyai tangan berlumuran darah sebagai pejahat kemanusiaan.
Komentar
Posting Komentar