Inspirasi Spiritualitas Perempuan Timor-Leste Dalam Pusaran Konflik dan Kekerasan


Oleh Primanto Nugroho

Sudah sejak tahun 1991 seorang penyair sekaligus gerilyawan dari tanah Timor-Lorosa’e mempersembahkan bait-bait ratapan atas derita dan air mata perempuan Timor:

Perempuan Timor
Dibelenggu oleh deritamu

Perempuan Timor
Semangatmu diatasi perbudakan

Perempuan Timor
Dipaksa melahirkan anak para penyerbu

Perempuan Timor
Diperkosa, dibuang ke kamp konsentrasi

Perempuan Timor
Lemah dalam kejujuranmu yang meneguhkan
Tak berdarahmu menyuarakan kekuatanmu
Rapuhmu menyanyikan himne kemerdekaan

Perempuan Timor
Ditampar, dibui
Nyanyianmu ratapi keadilan
Nyanyianmu ratapi keadilan
Jiwamu menentang maut

Perempuan Timor
Kau cucurkan air mata hangat berdarah
Darahmu, darah kita
Wajahmu jadi riwayat perjuangan kita.

Konon syair itu ditulis oleh Xanana Gusmão di antara banjir air semangat hidup yang mengalir dari kaum perempuan Timor selama mengalami pendudukan Republik Indonesia. Bukankah dari para mama  berkain sarung tenun dari ujung timur dataran tinggi Lospalos hingga di tapal atas barat Batugade itu mata air semangat hidup mengalir? Bumi Timor-Leste penuh dengan kisah tentang semangat hidup, tentang bertahan hidup dalam diam. Xanana tahu persis hal itu. Ia rasakan sendiri selama hidup bergerilya menghadapi kesatuan-kesatuan tempur ABRI.

Perempuan jugalah ibu yang menanggung hidup yang tak selalu ramah ini. Acap kali dalam kebisuan, sebagai Bunda Maria yang memangku jasad anak tunggalnya seturun dari salib di puncak Kalvari. Itulah via dolorosa. Itulah jalan salib, penuh dengan air mata, penuh kepedihan. Namun jalan salib juga adalah jalan keadilan, seperti dalam ungkapan Padre Leonardo Boff. Jalan salib jugalah yang dilalui para perempuan bumi Maubere itu. Jalan salib yang memanjang dari Memo hingga Tutuala, dari Baucau sampai Viqueque, dan dari Dili menuju ke Suai. Tetapi keadilan? Lenyap kemanakah ia di antara bayang-bayang Gunung Ramelau dan Gunung matebian?[1]

Berbeda dengan konflik yang terjadi di wilayah lain di Indonesia seperti di Maluku, Sulawesi tengah, atau Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah maka konflik yang terjadi di Timor-Leste pada tahun 1999 tak dapat dilihat lepas dari aksi pendudukan yang dilakukan oleh Republik Indonesia sejak tahun 1975, lengkap dengan segenap perangkat mobilisasi dan pengendalian atas tubuh populasi setempat. Ada riwayat sepanjang nyaris 25 tahun konflik terjadi. Juga berbeda dengan riwayat konflik sebagaimana terjadi di Aceh atau Papua Barat, bagian timur pulau Timor tak pernah menjadi koloni bagian dari Pax Neerlandica. Peta yang dimanfaatkan dalam pelajaran ilmu bumi di kelas-kelas sekolah jaman Hindia Belanda pada paroh pertama abad 20 selalu menunjukkan wilayah van Sabang tot Merauke dengan warna putih di Timor-Timur, terkadang dengan imbuhan keterangan sebagai koloni Portugis. Begitu ketika pada atahun 1975 Taman Mini Indonesia Indah diresmikan, siapa saja yang menaiki sky-lift di kompleks tersebut dan melayangkan pandangan ke kolam raksasa yang berisi gundukan tanah yang menggambarkan kepulauan Indonesia dalam bentuk mini masih menyisakan separoh Pulau Timor bukan sebagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dua hal penting untuk segera didudukkan dengan konteks waktu tersebut adalah pertama, seperti apakah konflik yang dialami di Timor-Leste dan bagaimana posisi perempuan di dalamnya? Dari struktur konflik yang terjadi lalu bagaimana perempuan menghadapi dan membawanya pada kondisi pemulihan di Timor-Leste?

Tantangan Berbagai Bentuk Kekerasan

Terdapat suatu keadaan yang membedakan pengungsi Timor-Leste dengan pengungsi dari wilayah lain. Pengungsi Timor-Timur (Timtim) tetap mempertahankan struktur masyarakat seperti ketika Timtim masih menjadi bagian Indonesia. Yaitu ibarat dalam sebuah piramida. Pada puncaknya, ada militer dengan keluarganya, di bawahnya ada milisi dan keluarganya, di bawahnya lagi ada unsur penopang dan keluarganya, dan di bagian paling bawah adalah masyarakat yang termobilisasi. 

Disebabkan oleh struktur tersebut, perempuan mengalami penindasan berlapis-lapis. Ia mengalami tindak kekerasan oleh suaminya dan oleh struktur masyarakat yang militeristik. Hal itu merupakan temuan yang diungkapkan oleh Tim Kemanusiaan Timor Barat (TKTB) pada pertengahan November tahun 2000.

Salah satu contoh penindasan paling jelas adalah ketika perempuan (istri) tidak berdaya dalam memutuskan untuk pulang ke kampung halaman di Timor-Lorosa’e karena laki-laki (suami) mereka menolak. Munir dari KONTRAS (Komisi untuk orang hilang dan Korban Tindak Kekerasan) yang beberapa kali mengunjungi para pengungsi di Timor Barat bahkan menyebutkan pernah ada seorang istri dipukuli oleh suaminya di depan orang banyak. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa dominasi dirinya terhadap istri, sekaligus memberi pelajaran pada orang lain bahwa inilah akibat yang akan diterima istri bila berkeinginan kembali ke Timor-Lorosa’e.

Setelah dipukuli suaminya, sang istri dianiaya lagi oleh laki-laki anggota komunitasnya karena dituduh sebagai penghasut yang ingin kembali ke Timor-Lorosa’e. Pada Januari 2000 perempuan di pengungsian pernah sangat ketakutan ketika beredar isu “operasi vagina”, yaitu apabila mereka pulang ke Timor-Lorosa’e, tentara INTERFET (International Force in East Timor, Pasukan Internasional untuk Timor-Leste) akan siap memperkosa mereka. 

Mengapa perempuan yang menjadi sasaran? Menurut Munir, ada politik pengungsi yang sengaja tetap mempertahankan kuota pengungsi supaya pihaknya tetap bisa menyatakan dirinya sebagai korban. Disinilah perempuan sesungguhnya yang paling menjadi korban karena sekaligus dijadikan sebagai alat penopang untuk sebuah struktur yang didominasi laki-laki dan bersifat militeristik dimana begitu besarnya jumlah perempuan dan anak-anak pengungsi.[2]   

Lebih lanjut dilaporkan oleh harian Kompas 16 November tahun 2000 lalu bahwa pembentukan TKTB oleh sekelompok individu – terdiri dari tokoh agama, tokoh masyarakat dan aktivis perempuan – karena melihat kondisi perempuan dan anak-anak tidak mendapat perhatian dari para penyandang bantuan kemanusiaan maupun kelompok yang mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). TKTB melakukan investigasi antara Februari-April 2000 di 74 lokasi dari sekitar 200 lokasi kamp pengungsi di Timor Barat. 

Beberapa hasil temuan TKTB, terjadi 8 perkosaan, 14 pelecahan seksual, 8 kehamilan tidak dikehendaki, 64 kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan 26 penganiayaan yang bukan KDRT ketika sebelum, saat dan pasca jajak pendapat. Namun, Munir memperkirakan bahwa dalam kenyataannya setidaknya 10 kali lipat dari angka temuan TKTB tersebut karena tidak semua korban berani dan bersedia menceritakan pengalamannya. Sangat menyedihkan bila tidak ada koreksi terhadap kejahatan terhadap perempuan tersebut, seolah-olah masyarakat merestui semua perlakuan kekerasan yang dialami mereka.

Mengungkap Tema Kekerasan Timor-Leste Lewat Seni

Ketika melalui saluran komunikasi resmi orang tidak mendapatkan informasi yang terkait dengan makna hidupnya sehari-hari, muncul apa yang disebut dengan bahasa seni. Melalui seni seseorang dapat memaknai hidup, menghidupi kondisi konflik yang tersembunyi di Timor-Leste. Seni-seni ini muncul dalam sastra, berupa serangkaian cerita pendek dan ilustrasi drawing dengan judul Saksi Mata, yang terbit pada bulan November 1994.

Cerita tentang kekerasan baik fisik maupun simbolik ini juga muncul dalam cerpen berjudul The Invisible Christmas. Realitas fiksi seorang petugas statistik di kota Ningi (yang dalam bahasa Walikan di Jogya berarti “Dili”) membawa pesan adanya kekerasan tentara pendudukan terhadap hak hidup penduduk setempat. Orang-orang yang dibunuh oleh tentara pendudukan di kota Ningi dalam cerita fiksi tersebut digambarkan masih tinggal bersama keluargnya masing-masing dan meskipun sudah menjadi arwah mereka tetap makan dan minum bersama anggota keluarganya yang masih hidup. Keadaan ini jelas membingungkan seorang tokoh di kota itu yang pekerjaannya mencatat jumlah anggota keluarga di setiap rumah, bagaimana mencatat arwah-arwah tersebut, apakah mungkin dimasukkan ke dalam kolom statistik sebagai anggota keluarga?[3] Dunia arwah adalah dunia yang tak terjamah secara inderawi, tetapi bagi mitologi di Timor-Leste maupun dalam praktek kekatolikan, jagad itu mendapatkan tempat yang cukup penting.

Demikian gambaran kekerasan di Timor-Leste yang tak terkatakan. Yaitu kekerasan secara fisik yang dioperasikan melalui pemanfaatan senjata serta peralatan lainnya yang mendera tubuh orang per orang, dan mengurangi kesempatannya bergerak dalam lingkungan yang meluas. Sementara secara simbolik kekerasan ditubuhkan melalui pelembagaan pengetahuan di sekolah, proses medikalisasi, kriminalisasi, pembunuhan perdata, dan komodifikasi informasi. Betapa berlapis-lapis struktur kekerasan simbolik beroperasi. Melalui locus-locus kekerasan tersebut operasi kekerasan simbolik semakin mengunci posisi para pengungsi perempuan – yang secara kebutuhan fisik pun sudah hidup dalam beragam keterbatasan akses.

Spiritualitas Feminim: Salah Satu Cara Pemulihan Diri

“Di Timor-Timur salib-salib muncul hampir di segenap penjuru...” tulis John Pilger ketika mengantar penerbitan buku potret karya Steve Cox yang berjudul Generations of Resistance: East Timor di tahun 1995. Namun ketika sampai pada pemandangan salib yang ada di kuburan-kuburan, ia menambahkan keterangan tentang mereka yang mati sejak tahun 1975 dimana sekeluarga memiliki tanggal kematian yang sama. Selanjutnya Pilger menulis, “Lebih dari 200 ribu orang, atau sepertiga dari populasi Timor-Timur, tewas sebagai akibat langsung dari invasi Indonesia di tahun 1975...”[4]

Jalan salib pula yang dialami oleh Lorença, seorang gadis berusia 20 tahun dari Uatolari, Viqueque ketika pada bulan September 1999 ikut mengungsi ke Kupang. Kemudian dari ibukota propinsi Nusa Tenggara Timur itu ia diangkut dengan truk militer ke Tuapukan. Catatnya, “Rasa sedih bercampur duka, silih berganti. Perasaan ini saya rasakan pada hari-hari pertama, kami harus menempati tanah persawahan yang kering. Di situ mulai dibuat barak-barak untuk untuk tempat tinggal para pengungsi termasuk kami. Karena masih banyak saudara kami di Timor-Leste, kami tiap malam berdoa semoga saudara yang ada di sana pun selalu selamat.” Dan Lorença meneruskan doanya itu, “Kesadaranku mulai pulih setelah kuputuskan hidup di tanah orang sehingga harus bisa menerima kenyataan”.

Tapi bagaimana kenyataan seberat itu harus dihadapi? “Kami tidak dapat berdiam diri saja lagi merenungi nasib ini. Kami selalu aktif dalam kelompok ibu-ibu, kadang membantu memberi makanan tambahan, agar ada kesibukan.”[5] Bahkan dalam suasana yang sudah membara menjelang pertengahan tahun 1999 di bumi Lorosa’e, seorang suster dari Kongregasi Dominikan tetap meneguhkan semangatnya dalam ungkapan, “Damai adalah seekor burung bersayap putih, yang menerangi hatimu, juga langit-langit rumahmu...” Suster bernama Maria Lourdes Martins Cruz ini memimpin Institut Sekular Maun Alin iha Kristu di Timor-Leste yang kala itu menghimpun sekitar 200 anak angkat dari berbagai penjuru Timor-Leste.[6]

Begitu kaya inspirasi keagamaan dalam hiruk-pikuk kasus pengungsi Timor-Leste ini seperti yang disiratkan Lorença dan Suster Maria Lourdes yang merepresentasikan spiritualitas Maria memangku putra tunggalnya di bawah kayu salib. Keyakinan ini yang menjadi isnpirasi mereka dalam relasi antar manusia maupun dalam struktur kekuasaan. Tidak seperti di wilayah konflik lainnya, inspirasi keagamaan justru menjadi penggerak relasi manusia dengan alam Timor-Leste yang berangkat untuk kembali menata diri dari reruntuhan.

Diketik ulang oleh Roserio Loiluar Savio (http://literatura-timor.blogspot.com/2011/11/inspirasi-spiritualitas-perempuan-timor.html) dari Jurnal Perempuan - Untuk Pencerahan dan Kesetaraan: Perempuan dan Pemulihan Konflik. No. 33, 2004.



[1] “Mengenang Timor-Timur: Keluarga Berencana dalam Paket Indonesianisasi” dalam Majalah Bulanan BUSOS No. 8 Th. 24/1999, hal. 7-8.
[2] Surat Kabar Harian Kompas, 16 November 2000.
[3] “Paradoks dari Nusantara” dalam Barometer Sosial No.5 Th.I/1999, hal.7.
[4] Steve Cox dan Peter Carey, Generations of Resistance: East Timor (New York: Cassell, 1995).
[5] Sigit Wijayanta et.all (Ed.). Selamat Tinggal timor Timur (Yogyakarta: INSIST Press, 2000).
[6] Majalah Talitakum, edisi 4 April-Mei 1999, hal.58.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prinsipius Doutrina Sosial Igreja No Prinsipius Filozofikus -Ideolojikus Fretelin

East Timor Revisited: Ford, Kissinger and the Indonesian Invasion, 1975-1976

Poezia Ida, Depois Festa Fulan-Agostu