In Memoriam Xavier do Amaral, Presiden Sepuluh Hari
"Hingga akhir hayatnya, "Presiden Sepuluh Hari" itu tetap seorang patriot-cum-pejuang."
Oleh Aboeprijadi Santoso
Oleh Aboeprijadi Santoso
Sumber: ND Globo. Ilustrasi: Micha Rainer Pali |
"Saya bukan ragu-ragu, tapi mata saya memandang laut. Dan telinga saya mengarah ke udara... (Siapa tahu) kalau-kalau tentara Indonesia datang menyerbu.” Begitu Francisco Xavier do Amaral berkisah kepada Radio Nederland pertengahan 1995, ketika menceritakan momen-momen saat dia, pada 28 Nopember 1975 pukul 22.00, hendak membacakan proklamasi kemerdekaan Republik Demokratik Timor-Leste (RDTL).
Francisco Xavier do Amaral –akrab disapa Pak Xavier– terlahir di Turiscal, distrik Manufahi pada 1937, tutup usia karena mengidap kanker pada 6 Maret 2012 di sebuah rumah sakit di Dili, Timor Leste.
Kisah dan sepak-terjangnya menyimpan heroisme, ironi dan tragika. ‘Heroik’, karena dia ikut berjuang bergerilya sejak menit-menit pertama gerakan di negeri tetangga ini bertekad merdeka. Juga ‘heroik’, karena partai yang didirikannya ASDT (Asosiasi Sosial-Demokrat Timor) itulah, yang kemudian melahirkan gerakan perlawanan rakyat Fretilin. Tapi ‘ironis’, karena proklamator ini tak pernah menjadi presiden lebih dari sepuluh hari. Dua kali dia gagal menjadi presiden ketika tampil sebagai calon presiden pada Pilpres Timor Leste.
Akhirnya, Xavier menjadi ‘tragik’, karena tersisih. Sejak proklamasi kemerdekaan perannya sebagai proklamator dan pendiri RDTL untuk jangka waktu lama –semasa pendudukan dan perjuangan gerilya, bahkan hingga beberapa tahun silam– dia terlupakan. Bagi sebagian Fretilin, pengakuan terhadap perannya sebagai proklamator RDTL pun belum sepenuhnya terang.
Namun pemerintah Timor Leste menghormatinya sebagai pahlawan nasional. Almarhum dimakamkan di Taman Pahlawan Metinaro, dekat Dili. Timor Leste berkabung selama tiga hari.
Hari-hari menjelang proklamasi RDTL, November 1975 itu, wilayah yang kala itu disebut Timor-Portugis berada dalam keadaan bahaya. Diplomasi Indonesia dengan Portugal macet, Australia beralih memihak pada keinginan Indonesia untuk mengintegrasikan wilayah Timor Leste ke dalam Republik Indonesia, sementara tentara Indonesia diam-diam menyusup. Gerak-gerik agresif ABRI terungkap telanjang pada pembantaian lima wartawan asing di Balibo, 16 Oktober 1975.
Pantas, Xavier Amaral cum suis amat cemas di saat proklamasi sebulan kemudian. ASDT, partai yang didirikan Xavier Amaral, Jose Ramos-Horta dan Nicolai do Reis Lobato, telah siap dengan naskah proklamasi yang disusun oleh Nicolai Lobato dan Mari Alkatiri. Naskah itu disusun oleh Komite Sentral ASDT/Fretilin, namun Xavier mengaku tidak dapat memastikan bahwa bendera RDTL dibuat oleh ibunya Mari Alkatiri. Menurut Xavier, Fretilin sudah yakin Indonesia akan mengambil-alih Timor Timur. Sebagai tokoh tertua di kalangan pemuda, dia dipilih membacakan proklamasi. Lalu, “bukan ragu ragu”, melainkan was-was akan kemungkinan serangan Indonesia, Xavier membaca naskah itu di Istana Gubernur (kini gedung pusat pemerintahan) yang terletak di pantai Dili.
Kontan, proklamasi tersebut mengejutkan pihak Indonesia. Esoknya, rombongan Operasi Khusus (Opsus), termasuk sejumlah tokoh Timor Timur pro-Indonesia/anti-Fretilin, yang berada di Bali bergegas menyiapkan sebuah deklarasi integrasi, yang dinamakan Deklarasi Balibo –meski diteken di sebuah hotel di Denpasar. Sementara di Jakarta, Presiden Soeharto, atas bujukan Mayjen Ali Moertopo dan Brigjen Benny Moerdani, menyiapkan invasi dan memberitahukannya kepada Presiden Amerika Serikat Gerard Ford dan Menlu Henry Kissinger yang berkunjung ke Jakarta pada 6 Desember, hanya sehari sebelum invasi 7 Desember 1975.
Walhasil, insting politik Xavier Amaral dan kawan-kawan untuk menyiapkan proklamasi itu sangat tepat. Dengan begitu, mereka menjebak suatu agresi, dan sejak itu, mereka harus bergerilya. Akhir 1970-an, Fretilin terdesak ke pegunungan, dan rakyat ikut mengungsi hingga terjadi pengepungan kawasan Matebian, yang mengakibatkan malapetaka besar: kelaparan, perang dan pembantaian menelan ratusan ribu jiwa. Menurut Komisi CAVR pada 2006 korban jiwa semasa 1975-1999 mencapai sedikitnya 180 ribu, sebagian besar tewas di Matebian pada 1970-an.
Kegundahan dan kegelisahannya yang mendalam melihat penderitaan rakyat di hutan membuat Xavier Amaral pada 1978 turun gunung. Soal strategi –soal rakyat harus ikut di gunung seperti dikehendaki pimpinan Fretilin, atau turun menyerah– membuat dia meninggalkan medan setelah dikeluarkan dari keanggotaan Fretilin pada 1977. Xavier mengaku mengajak rakyat turun dan ini membuat sejumlah pimpinan Komite Sentral antara lain Alerico Fernandes, Calvarino, Vincente Reis, “bukan Nicolau (Lobato) yang waktu itu masih lemah” mengeluarkan perintah untuk membunuh dirinya.
Xavier mengaku tidak pernah menyerah pada tentara Indonesia. Dia ditangkap di Viqueque oleh Batalyon 748 di bawah Kol. RPKAD Dading Kalbuadi, dan sejak 1983 tinggal di kawasan perumahan RPKAD di Cijantung. Dia menjadi tahanan-rumah, bekerja “merawat kuda dan menjaga kebun” di rumah Dading hingga 1995.
Pertengahan 1995, ketika saya menemuinya, dia menghuni rumah sendiri, tak jauh dari villa mewah kediaman Dading di Cijantung. Xavier saat itu hendak menikahkan sebuah pasangan Timor Timur. Dia menjadi seorang tetua, primus inter pares, atau pamong yang mengayomi komuniti asal Timor Timur di Jakarta. Di rumahnya terpampang sebuah lukisan besar menggambarkan kegagahan Dading Kalbuadi dalam seragam baret merah RPKAD. Seolah-olah Xavier Amaral mengidap Syndroma Stockholm –sebutan untuk korban sandera yang berbalik bersimpati pada penyanderanya. Xavier mengaku dirinya diperlakukan baik sebagai “pahlawan” oleh Dading Kalbuadi, karena itu dia “sangat menghargai” perwira yang menawannya.
Empat tahun kemudian, ketika saya temui lagi di Jakarta pada 1999, Xavier bekerja di Pondok Indah. Sepeninggal Dading dan menjelang referendum Timor Timur Agustus 1999, dia merasa terancam oleh intel-intel tentara Soeharto (“orang orang Seroja”, dalam istilah Xavier) ketika mencoblos dalam referendum di sebuah kathedral di Jakarta sampai dia harus menghubungi utusan Portugal, Anna Gomes.
Sepanjang pendudukan Indonesia di Timor Timur, Xavier Amaral berada di Jakarta. Beberapa kali dia ikut rombongan delegasi pro-integrasi dalam dialog dengan pihak perlawanan yang digelar secara berkala oleh PBB di Burg-Schlaining, Austria. Namun sebelum putaran Dialog-antar-Timor ini dimulai, pada pertengahan 1990-an di London, dia sempat mengungkap niat meminta suaka, untuk pulang ke Timor Timur dan menyeberang ke pihak perlawanan. Entah mengapa, keinginan itu dibatalkannya, dan dari London dia ikut kembali ke Jakarta.
Akhirnya, baru pada 2000, Xavier kembali ke tanah airnya, dan menghuni kembali rumah kediamannya di Dili yang kemudian menjadi kantor pusat partai ASDT yang dihidupkannya kembali.
Meski tersisih dari Fretilin, Xavier Amaral, seperti kebanyakan warga Timor Leste, tetap hormat pada Fretilin. Juga semasa pendudukan ketika dia berada di Indonesia. Nugraha Katjasungkana menceritakan, ketika Solidamor meluncurkan buku Jose Ramos-Horta, Funu: The Unfinished Saga of East Timor versi bahasa Indonesia di Jakarta, gerakan solidaritas Timor Timur itu mengundang dua pembicara: Pak Xavier dan Osorio Soares. Osorio menggunakan kesempatan untuk berpropaganda anti-Fretilin dengan mengatakan, "Xavier adalah korban kekejaman Fretilin yang tidak berperikemanusiaan” dan seterusnya. Giliran berbicara, Xavier Amaral langsung bilang “Saya tetap Fretilin!"
“Fretilin itu seperti tidur di atas (bencana) sejarah,” kata Xavier kepada Radio Nederland suatu kali. Maksudnya, Fretilin dikaruniai legitimasi politik oleh pahit-getir sejarah perjuangan Timor Timur. Memang, Fretilin membuktikan bahwa apa yang dikatakan seorang jenderal di Jakarta pada 1970-an –bahwa Timor Timur ‘beres’ “dalam sehari, sambil makan pagi di Dili, makan siang di Baucau dan makan malam di Los Palos”– itu cuma omong kosong yang tak pernah terjadi. Tanpa Fretilin, tak ada perjuangan gigih demi kemerdekaan Timor Leste dengan pengorbanan amat besar. Maka bagi rakyat, Fretilin adalah segalanya.
Namun, Timor Leste tidak identik dengan Fretilin. Sejak 1985, peran Fretilin dioper oleh front nasional CNRM (belakangan menjadi Partai CNRT) dan gerakan klandestin. Sementara itu, Fretilin pasca-kemerdekaan 2000 bukan lagi Fretilin 1974-1975. Ini membuat soal Restoracao RDTL (restorasi RDTL) menjadi isu panas di awal 2000-an ketika Fretilin beranggapan nilai-nilai 1975 dan massa tetap digenggamnya. Fretilin unggul karena, dalam persepsi-diri dan anggapan khalayak, seolah memborong nilai-nilai 1975. Karenanya, kalangan Fretilin kecewa, menganggap Xavier pagi-pagi sudah menyerah, meski dia membantah hal itu.
Dalam wawancara terakhir dengan saya di Dili, September 2009, Xavier Amaral membenarkan dirinya baru pada 2008 diakui resmi sebagai proklamator dan pendiri RDTL, karena perselisihannya dengan Fretilin.
Kontroversi itu membuat Xavier Amaral tersisih dan menentang perpecahan di dalam Fretilin –terutama sejak krisis 2006. Fretilin seperti memonopoli nilai-nilai bangsa dan perjuangan. Kesadaran seperti ini membuat kalangan eks Fretilin seperti Xavier Amaral sedih. Sejak 2001, Xavier memulihkan partainya, ASDT, memimpinnya dan mewakilinya di Parlemen Nasional dan maju sebagai Capres dalam Pilpres 2002 dan 2007, namun kalah. Dia pun bermaksud tampil dalam Pilpres 17 Maret 2012, tapi ajal menjemputnya.
Sumber: Majalah Historia Online. Url http://historia.co.id/artikel/9/965/Majalah-Historia/Presiden_Sepuluh_Hari
Komentar
Posting Komentar