Meninggalkan Politik Revolusioner demi Kemerdekaan Tanah Air Dampak Pendudukan Indonesia pada Gerakan Kemerdekaan Timor-Leste
"Ringkasnya, gerakan pembebasan nasional Timor-Leste telah mengalami perubahan dalam hal organisasi, politik, dan strategi perjuangan. Di masa lalu perjuangan dipimpin oleh Fretilin sebagai pelopor yang mengobarkan ‘revolusi‘ membangun struktur-struktur baru yang memungkinkan rakyat hidup tanpa penghisapan dan penindasan. Selanjutanya perjuangan dipimpin oleh Falintil untuk mengusir tentara Indonesia dari Timor-Leste melalui jalan diplomasi di dunia internasional untuk pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste."
Oleh Nug Kacasungkana
Pada 7 Desember 1975 tentara Indonesia melancarkan invasi besar-besaran dari darat, laut, dan udara terhadap kota Dili di Timor-Leste. Serangan itu dilakukan beberapa hari setelah gerakan pembebasan nasional Timor-Leste, Fretilin (Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente) Memproklamasikan kemerdekaan negeri jajahan Portugis itu. Fretilin melawan dan berlangsung perang terbuka sampai awal 1979 ketika wilayah basis Fretilin di pedalaman hancur akibat keunggulan militer ABRI. Timor-Leste pun berada di bawah kekuasaan pendudukan Indonesia. Namun perlawanan dalam bentuk yang berbeda berhasil dilanjutkan hingga Timor-Leste berhasil mengakhiri pendudukan Indonesia pada bulan September 1999. Invasi dan pendudukan Indonesia menimbulkan dampak yang besar pada gerakan pembebasan nasional Timor-Leste. Unggulnya kekuatan militer dan ketatnya kontrol selama pendudukan membuat program sosial-politik dalam kerangka pembebasan nasional tidak bisa berlanjut dan dalam tubuh gerakan pembebasan nasional terjadi perubahan yang mengarah pada militerisasi gerakan tersebut. Makalan ini berusaha menelusuri perubahan-perubahan pada bidang politik dan organisasi gerakan pembebasan nasional Timor-Leste selama masa pendudukan.
Gerakan Pembebasan Nasional
Perlawanan terhadap kolonialisme Portugis di bagian timur pulau Timor telah lama dilakukan oleh penduduk pribumi, namun gerakan pembebasan nasional baru bermula pada awal 1970 ketika sekelompok orang muda berpendidikan Portugis mulai membentuk kelompok bawah tanah anti-kolonial. Mereka adalah kelompok terdidik hasil dari perluasan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial sejak dasawarsa 1960–an. Pada dasasawarsa itu lembaga-lembaga pendidikan diperluas. Sekolah dasar meningkat dari 110 pada 1967 menjadi 298 pada 1972. Jumlah murid sekolah dasar yang pada 1950 hanya 3.429 pada 1970 menjadi 32.937. Pada 1965 diperkenalkan pendidikan menengah dengan peningkatan Liceu Dr. Machado (yang sebelumnya hanya memberikan pendidikan menengah rendah). Pemerintah Portugis sejak akhir 1960-an juga menyediakan beasiswa kepada sejumlah orang yang melanjutkan pendidikan universitas di Portugal.[1]
Pendidikan yang diperluas dalam rangka politik ‘civilização‘[2] Portugis itu bertujuan memperluas jumlah orang pribumi ‘assimilados‘ yang akan menjadi agen-agen Portugis untuk ‘memberadabkan‘ rekan-rekan pribumi sebangsanya. Namun pendidikan ini telah juga memungkinkan orang Timor-Leste menyadari kolonialisme dan mengetahui adanya gerakan nasional di negeri-negeri jajahan Portugis di Afrika. Pendidikan tinggi di Portugal yang diikuti sedikit lulusan sekolah menengah di Dili memperkuat lebih lanjut kesadaran tersebut. Terutama karena pendidikan ini memberikan kesempatan kepada mereka untuk berhubungan dengan gerakan pembebasan nasional di koloni-koloni Afrika yang waktu itu sudah lebih dari sepuluh tahun melakukan perang gerilya untuk kemerdekaan. Seorang mahasiswa yang pergi belajar ke Portugal pada 1968 mengatakan:
“Orang pertama di antara kami yang pergi ke Lisboa berkenalan dengan teori-teori revolusioner dan mengembangkan aksi bersama dengan para patriot dari koloni-koloni lainnya dan dengan para patriot anti-fasis Portugis. Sejak saat itu kami tidak terisolasi lagi. kami mulai memahami perjuangan sah rakyat-rakyat untuk mencapai kemerdekaan nasional karena kami telah mengasimilasi pemikiran-pemikiran para pemimpin besar revolusioner.”[3]
Ketatnya kontrol politik yang dijalankan oleh polisi rahasia PIDE (Policia Internacional e de Defesa do Estado – Polisi Internasional dan Pertahanan Negara) yang selanjutnya berganti nama menjadi DGS (Direcção Geral de Segurança – Direktorat Umum Keamanan) membuat kegiatan kelompok antikolonial tersebut terbatas pada diskusi-diskusi politik.[4] Kebebasan politik baru datang dengan terjadinya kudeta militer di Portugal pada 27 April 1974 menggulingkan rezim otoriter Salazar-Caetane yang telah berkuasa di Portugal lebih dari 50 tahun. Para perwira muda yang bergabung dalam Movimento das Forças Armadas (Gerakan Angkatan Bersenjata) membentuk pemerintah Junta de Salvação Nacional (Dewan Penyelamatan Nasional) yang menjalankan program demokratisasi di Portugal dan dekolonisasi di negeri-negeri jajahannya di Afrika dan Asia.
Beberapa hari setelah kudeta tersebut, sejumlah aktivis kelompok bawah tanah anti-kolonial mendirikan ‘Komite Pembelaan Buruh‘ yang melancarkan protes mendukung upaya buruh mendapatkan upah yang lebih tinggi. Setelah berhasil mengajak pihak-pihak lain yang menginginkan kemerdekaan Timor Portugis, pada 20 Mei 1974 mereka mendirikan Associação Social Democrática de Timor (ASDT Perkumpulan Sosial Demokratik Timor), yang berasaskan:
Hak untuk merdeka, penolakan kolonialisme, dan partisipasi secepatnya unsurunsur Timor-Leste dalam pemerintahan pusat dan lokal, penghapusan diskriminasi rasial, perjuangan melawan korupsi, dan politik bertetangga baik dan bekerjasama dengan negara-negara yang secara geografis mengelilingi Timor- este.[5]
Program utama ASDT adalah membentuk komite-komite sampai tingkat desa dan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan politik untuk meyakinkan rakyat bahwa rakyat Timor-Leste bisa memerintah sendiri negerinya sebagai negara merdeka (‗ukun rasik aan‘). ASDT mendapatkan dukungan dari ebanyakan mahasiswa yang belajar di Portugal. Sebagian dari mereka berhubungan dengan MPLA, FRELIMO, dan PAIGC, yang merupakan organisasi-organisasi pelopor perjuangan pembebasan nasinoal di Angola, Moçambique, dan Guiné-Bissau & Cabo Verde. Juga ada yang aktif dalam organisasi revolusioner Portugis seperti MRPP (Movimento Reorganizativo do Partido do Proletariado – Gerakan Perombakan Partai Proletariat). Hubungan dengan para mahasiswa ini memperkuat ASDT dalam menyusun program pengorganisasian rakyat dalam kerangka pembebasan nasional.[6]
Sejak bulan Juni 1974 para pemimpin ASDT melakukan pengorganisasian di desa-desa untuk menjalankan program sosial-politik organisasi ini. Bagi Fretilin kemerdekaan bukanlah semata-mata kepergian pemerintah kolonial Portugis untuk digantikan dengan pemerintah oleh orang Timor-Leste sendiri.[7] Bagi ASDT kemerdekaan tanpa perubahan struktur masyarakat akan berarti penggantian satu tuan penjajah dengan tuan penjajah yang lain. Manual e Programa Políticos menyebutkan:
Porque a Independencia é o único caminho para o progresso real e desenvolvimento do Povo do Timor-Leste. Nenhum povo poder realizar as suas aspirações e defender os seus direitos e interesses, se não for ele próprio o senhos do seu destino.[8]
(Karena kemerdekaan adalah jalan satu-satunya untuk kemajuan dan perkembangan sejati rakyat Timor-leste. Dengan kemerdekaan kita bisa mewujudkan keinginan dan mempertahankan hak dan kepentingan kita, yaitu hanya dengan menjadi tuan atas nasib kita sendiri)
Kemerdekaan yang diinginkan adalah penghapusan struktur-struktur masyarakat kolonial untuk digantikan dengan struktur-struktur baru yang memungkinkan rakyat hidup bebas dari penindasan, penguasaan, dan penghisapan. Dalam penjelasan di rapat-rapat umum, para pemimpin ASDT menyebut perjuangan kemerdekaan sebagai perjuangan ‘keluar dari kegelapan’ –yang dilukiskan pada rancangan bendara mereka: warna hitam mewakili kegelapan kehidupan rakyat di bawah kolonialisme, merah mewakili perjuangan rakyat, dan bintang putih melambangkan terang penunjuk jalan. ASDT melakukan berbagai macam kegiatan mobilisasi rakyat untuk membangun ‘struktur-struktur baru‘ tersebut. Membangun struktur-struktur baru inilah yang mereka sebut ‘revolusi‘. Nama ASDT pun diubah menjadi Fretilin (Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente). Pedoman politik Fretilin menyebutkan:
É Revolucionária porque para a autêntica libertação do Povo é necessário modificar, transformar, num sentido, REVOLUCIONARIZAR as velhas estruturas herdadas ao longo dos cinco séculos de colonialismo em Timor. Sem essa profunda transformação que consiste em cirar novas estruturas para servir o Povo de Timor, por mais que venha a haver uma Independência para a nossa terra, o Povo de Timor não será verdadeiramente independente.[9]
(Revolusioner karena agar Rakyat hidup sejahtera, untuk pembebasan yang sejati, Rakyat harus mengubah, mentransformasi, MEREVOLUSIONERKAN seluruh struktur yang telah berlangsung selama lima ratus tahun kolonialisme di Timor. Tanpa melakukan perombakan besar-besaran dengan menciptakan struktur-struktur baru untuk melayani Rakyat Timor, walaupun kita mendapatkan emerdekaan tanah air, Rakyat Timor tidak mendapatkan kemerdekaan sejati).
Perjuangan untuk kemerdekaan, terdiri dari dua unsur, yaitu perjuangan melawan kolonialisme dan pencegahan terhadap neo-kolonialisme. Perjuangan melawan kolonialisme itu sendiri mengandung dua aspek:
Substituir o poder político estrangeiro (portuges) por um outro exercido pelo Povo de Timor, com a consequente modificação das actuais estruturas politicos administrativas; odificar, transformar, revolucinar as estruturas sócio-económicas de tipo colonial vigentes em Timor.
(Mengganti kekuasaan politik asing (portugis) dengan yang lain yang dikuasai oleh Rakyat Timor, dengan mengubah struktur-struktur politik administratif yang ada; mengubah, mentrasformasi, merevolusionerkan struktur-struktur sosial-ekonomi jenis kolonial yang berlangsung di Timor.)
Sementara neo-kolonialisme yang hendak dicegah itu didefinisikan sebagai:
Uma situação neo-colonial em Timor será aquela em que Povo de Timor-Leste não estará livre para gerir o seu destino, embora Timor-Leste seja um Estado independente. Isto verifica-se principalmente através da penetração e aplicação dos capitais estrangeiros quando não servem os interesses do Povo e que criam imadiamente um outro tipo de independência: a dependência económica.
(Suatu keadaan neo-kolonial di Timor akan terjadi kalau Rakyat Timor-Leste tidak bebas untuk menentukan nasibnya, sekalipun Timor-Leste sudah menjadi Negara merdeka. Hal ini terutama terjadi melalui masuknya dan penggunaan modal asing yang tidak melayani kepentingan Rakyat dan menciptakan jenis lain ketidakmerdekaan: ketergantungan ekonomi.)
Dalam menciptakan struktur-struktur baru yang melayani kepentingan rakyat, bidang yang dianggap paling penting oleh Fretilin adalah pertanian, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan emansipasi perempuan.[10] Fretilin memandang bahwa di bidang pertanian, kolonialisme telah mempermiskin rakyat Timor-Leste dengan mengembangkan pertanian yang mengutamakan tanamantanaman ekspor. Pertanian ini membuat rakyat mengalami kelaparan karena kurangnya bahan makanan dan karena terbatasnya jenis bahan makanan.[11] Sebagai pengganti pertanian kolonial ini, Fretilin membayangkan pengembangan ‘pertanian yang melayani rakyat‘, yaitu suatu jenis pertanian yang memungkinkan semua orang bias mendapatkan makanan yang baik agar kesehatannya baik, agar seluruh rakyat bisa hidup sejahtera.‘[12]
Sistem pemilikan dan organisasi pertanian yang dianggap cocok untuk itu adalah koperasi, dan Fretilin merencanakan membangun koperasi produksi, distribusi, dan konsumsi di seluruh negeri. Ide ini awalnya dipraktekkan di sejumlah tempat, antara lain di Bazar-Tete (Liquiça) di bawah pimpinan Nicolau Lobato dan Bucoli (Baucau) di bawah pimpinan Vicente Reis ‘Sahe‘.[13] Fretilin juga menggagas program perombakan pemilikan tanah (landreform) yang akan menyita perkebunanperkebunan besar dan juga tanah-tanah yang belum dimanfaatkan untuk diserahkan digarap oleh koperasi-koperasi rakyat.[14]
Di bidang pendidikan, Fretilin melakukan program alfabetização (pembelajaran membaca dan menulis)[15] dengan mendasarkan pada metode yang dikembangkan oleh pendidik asal Brazil, Paulo Freire.[16] Pendidikan berperan kunci dalam perjuangan kemerdekaan karena Fretilin memandang bahwa kemerdekaan hanya akan terwujud bila rakyat berpartisipasi aktif dalam pemerintahan bangsa, dan rakyat hanya bisa berpartisipasi aktif jika mengerti apa yang diinginkannya dan mengapa menginginkannya. Bila rakyat hidup dalam ketidaktahuan (obscurantismo) dan kebodohan (ignorancia), akan selalu ada pihak yang memanfaatkan ketidaktahuan dan kebodohannya untuk mengeksploitasi mereka. Menurut perspektif Fretilin, ada dua jenis pendidikan, yaitu pendidikan yang menindas dan pendidikan yang membebaskan rakyat. Pendidikan yang berlangsung di bawah pemerintah kolonial Portugis bukanlah pendidikan untuk kemajuan rakyat, tetapi pendidikan yang melancarkan penindasan.[17] Ini adalah kebalikan dari pendidikan yang diinginkan Fretilin. Metode conscientização Paulo Freire mereka pilih karena dengan metode ini rakyat tidak hanya belajar membaca dan menulis tetapi juga menjalani proses ‘penyadaran‘ tentang penindasan kolonial yang mereka alami dan bagaimana mencari jalan keluar darinya.
Program alfabetisasi tersebut dipersiapkan mulai bulan Mei 1974, dengan menyusun buku pegangan Rai Timur Ita Nian (yang berisi sejumlah ‘kata generatif‘ untuk dijadikan pegangan bagi para aktivis pendidikan Fretilin) dan melatih para aktivis pendidikan dengan metode baru ini yang berdasarkan perspektif baru tentang pendidikan. Tujuan alfabetização, seperti dikemukakan oleh juru bicara Fretilin waktu itu, boleh tahu siapa nama jubernya adalah agar para peserta pendidikan ini belajar menjadi warganegara yang baru, yang bebas dari kebodohan dan takhayul serta siap memahami gejala sejarah dan politik penghisapan terhadap manusia.’[18]
Bidang kesehatan dipandang sangat terkait dengan pendidikan.[19] Fretilin menyimpulkan bahwa rendahnya tingkat kesehatan rakyat disebabkan oleh rendahnya pengetahuan rakyat tentang kesehatan dan tentang nilai gizi makanan. Obscurantismo dan ignorancia yang merupakan produk dari situasi colonial dianggap sebagai sumber masalahnya. Rakyat menganggap penyakit itu disebabkan oleh kekuatan roh-roh jahat, bukan karena lingkungan yang kotor dan kekurangan gizi. Oleh karena itu, bagi Fretilin pendidikan kesehatan merupakan salah satu pemecahan masalahnya.[20]
Gagasan Fretilin mengenai kebudayaan berhubungan erat dengan pengembangan suatu kesadaran nasional di kalangan rakyat. Kesadaran nasional adalah sesuatu yang baru. Pada zaman kolonial, umumnya rakyat memahami dirinya sebagai anggota suatu klen, suco, kerajaan, atau kelompok etnolinguistik tertentu. Misalnya, orang memandang dirinya sebagai orang klen Manetelu, orang suco Irabim, atau orang dari kerajaan Luca, atau orang kelompok etno-linguistik Mambai, ketimbang sebagai orang Timor-Leste. Mereka memandang orang di luar komunitasnya itu sebagai orang asing.[21] Apalagi di Timor-Leste juga tidak ada satuan politik yang mencakup seluruh wilayah ini.[22] Kerajaan yang pernah ada hanya mencakup beberapa suco dan mungkin tidak ada yang luasnya melebihi satu distrik sekarang. Fretilin berusaha mengembangkan kesadaran nasional melalui program kebudayaan, dengan memperkenalkan satu bentuk kebudayaan rakyat di satu tempat ke tempat-tempat lain dan berusaha menjadikannya sebagai milik seluruh rakyat yang mendiami Timor Portugis. Misalnya, tarian tebe dari satu tempat diperkenalkan dalam program alfabetização di tempat-tempat lain. Demikian pula lagu ‘Kolele Mai‘ yang berasal dari satu desa di distrik Baucau diperkenalkan ke seluruh negeri. Fretilin juga menggunakan bahasa Tetun, yang merupakan lingua franca di seluruh wilayah ini, dalam pertemuan- pertemuan umum mereka. Dalam program alfabetização, Fretilin mengajar penduduk membaca dan menulis, serta mengajarkan politik dalam bahasa ini.[23]
Program penting lain yang mungkin paling revolusioner adalah emansipasi perempuan. Fretilin memandang bahwa perempuan Timor-Leste mengalami penindasan berganda dalam masyarakat yang mereka karakterisasikan sebagai ‘feodal-kolonial‘. Perempuan mengalami penindasan dan kekerasan umum yang dialami seluruh rakyat, dan mengalami penindasan dan kekerasan khusus terhadap mereka, yaitu menjadikan mereka sebagai ‘alat kenikmatan bagi majikan (laki-laki) kolonialis‘ dan sebagai barang milik‘ yang dipertukarkan dalam praktek ‘barlaque‘[24] serta poligami. Dalam rangka pembebasan nasional, kaum perempuan mendapat perhatian khusus dalam program pendidikan, produksi pertanian, dan kebudayaan yang dijalankan oleh sayap perempuan Fretilin, Organizaçao Popular da Mulher Timor (OPMT – Organisasi Rakyat Perempuan Timor).[25] Tujuannya adalah pembebasan perempuan sebagai makhluk sosial yang merupakan sasaran eksploitasi ganda: yaitu eksploitasi konsepsi tradisional dan eksploitasi konsepsi kolonialis.[26]
Perubahan ASDT menjadi Fretilin pada September 1974 dilakukan oleh karena para pemimpin ASDT merasa bahwa organisasi yang lama terlalu sempit untuk bisa mencapai tujuannya. Menurut mereka, agar bisa mencapai kemerdekaan, orang Timor-Leste harus bersatu dan untuk mempersatukan mereka yang diperlukan adalah suatu ‘frente‘ (front) bukan partai politik. Dalam front inilah dihimpun semua orang Timor-Leste yang menginginkan negerinya berdiri sebagai negara merdeka, tanpa memandang ras, gama, keturunan, bahkan ideologi politik mereka.[27] Perubahan ASDT menjadi Fretilin ini juga menandai semakin jelasnya pengertian gerakan ini mengenai bagaimana mencapai kemerdekaan. Manifesto Fretilin menyebutkan bahwa penghapusan kolonialisme harus dilakukan dengan cara:
- · perubahan mendasar dan cepat struktur kolonialis dan menjalankan bentuk-bentuk baru demokrasi;
- · pengembangan kebudayaan yang diilhami oleh proses dan konsep baru tentang kebudayaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat;
- · gerakan aktif melawan korupsi dan penghisapan terhadap rakyat
- · kehidupan multi-rasial tanpa diskriminasi ras dan agama.[28]
Fretilin juga mengantisipasi bahwa setelah kemerdekaan, akan muncul kolonialisme dalam bentuk baru, yang disebutnya neo-kolonialisme.‘Fretilin bertekad mencegahnya beserta semua bentuk penyerahan negeri kepada negeri asing lain.‘[29]
Fretilin adalah partai politik yang paling siap ketika pemerintah kolonial Timor Portugis melakukan serangkaian kegiatan dalam program dekolonisasinya. Untuk mempersiapkan rakyat pada kehidupan politik yang baru, pemerintah Timor Portugis menyelenggarakan kegiatan ‘dinamisasi budaya‘ yang terdiri dari ceramah-ceramah menjelaskan konsep-konsep politik seperti demokrasi, kebebasan, hak pilih universal, pemilihan umum bebas, negara, bangsa, sosialisme, dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya, pemerintah bekerjasama dengan partai-partai politik Timor-Leste. Kegiatan penting lain adalah pembentukan Komisi Dekolonisasi, yang terdiri dari komite-komite untuk bidang pendidikan, pemerintahan, perekonomian, kesehatan masyarakat, dan kesejahteraan. Komite-komite ini dijalankan oleh wakil-wakil pemerintah dan partai-partai politik.
Dari antara partai-partai politik, Fretilin adalah yang paling aktif dalam Komisi Dekolonisasi. Mereka juga yang paling siap karena sebelum pembentukan Komisi Dekolonisasi pada bulan Februari 1975, mereka telah memiliki kebijakan politik yang jelas mengenai berbagai bidang yang mereka rumuskan dalam Manual e Programa Políticos (Pedoman dan Program Politik). Garis kebijakan ini yang mereka usulkan kepada komite-komite yang bersangkutan. Misalnya, mereka mengusulkan agar perusahaan dagang besar SAPT (Sociedade, Agricola, Patria e Trabalho) dinasionalisasi dan usulan ini diterima dengan membuat saham mayoritasnya menjadi milik negara.[30]
Program-program Fretilin mendapat dukungan luas rakyat. Dalam waktu singkat Fretilin mengalahkan popularitas UDT, yang mendapatkan dukungan dari pejabat-pejabat pemerintah, penguasapenguasa tradisional dan pemilik-pemilik perkebunan besar. Dukungan ini terlihat ketika pemerintah Provinsi Timor pada Mei 1975 menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih kepala desa dalam rangka dekolonisasi pemerintahan. Menurut laporan pada waktu itu, pemilihan umum sempat dilaksanakan di distrik Lospalos, dimana Fretilin mendapatkan suara mayoritas yang besar 90%.[31]
Meningkatnya popularitas Fretilin mengkhawatirkan saingan-saingan Fretilin di dalam negeri maupun Indonesia yang punya kepentingan sendiri. UDT (União Democrática Timorense) yang awalnya menginginkan dipeliharanya hubungan dengan Portugal kemudian berubah menjadi menginginkan kemerdekaan segera adalah yang paling dirugikan oleh meningkatnya popularitas Fretilin. UDT awalnya adalah yang paling populer dari tiga partai utama di Timor Portugis. Opsus (Operasi Khusus), satu unit intelijen Indonesia yang menjalankan operasi rahasia mendukung partai Apodeti yang memperjuangkan integrasi Timor Portugis dengan Indonesia menyadari bahwa harus dilakukan langkah lain setelah kegagalan Apodeti merebut dukungan besar dari rakyat. Para agen Opsus berhasil mendekati para pemimpin UDT dan meyakinkan mereka bahwa Indonesia tidak akan membiarkan Timor-Leste merdeka jika yang memerintah adalah Fretilin.[32]
Jalan Menuju Zonas Libertadas
Pada 11 Agustus 1975 UDT melancarkan gerakan bersenjata menangkapi dan menahan pemimpinpemimpin Fretilin yang mereka anggap ‘radikal‘ dan mengambil alih serta menduduki pusat-pusat pemerintahan dan tempat-tempat strategis lainnya di Dili. Tujuan mereka adalah untuk ‘menyingkirkan komunis dari Timor‘. Karena perundingan yang diupayakan oleh pemerintah Timor Portugis tidak membawa hasil dan karena sebab-sebab lainnya, akhirnya Gubernur Mário Lemos Pires dan bersama rombongan menyingkir ke pulau Ataúro di lepas pantai sebelah utara kota Dili. Selanjutnya Fretilin yang mendapatkan dukungan mayoritas orang Timor-Leste yang berdinas dalam tentara Portugis menyerukan kebangkitan umum bersenjata‘ dan melakukan serangan balasan mulai 15 Agustus. Setelah pecah pertempuran di sana-sini selama sekitar tiga minggu, Fretilin memegan kendali atas Timor-Leste. Para pemimpin UDT melarikan diri menyeberang perbatasan memasuki wilayah Indonesia, demikian pula para pemimpin tiga partai anti-komunis lainnya, yaitu Apodeti, KOTA (Klibur Oan Timor Assuain –Persatuan Ksatria Timor) dan Partido Trabalhista. Karena pemerintah Portugis tidak kunjung memenuhi undangan Fretilin untuk kembali memerintah negeri dan melanjutkan dekolonisasi, Fretilin terpaksa menjalankan roda pemerintahan. Pengurus Fretilin di tingkat distrik dan di bawahnya segera mengubah diri menjadi pemerintah, yang dijalankan bersama dengan organisasi pemuda dan organisasi perempuan. Menurut pengamatan pihak asing yang berkunjung, pemerintah Fretilin mendapatkan dukungan luas rakyat dan berjalan dengan cukup baik dalam keadaan yang serba kekurangan.[33]
Sementara itu tentara Indonesia telah melakukan operasi-operasi penyusupan di perbatasan barat sejak September 1975 yang tidak lama kemudian berubah menjadi serangan terbuka terhadap kota-kota kecil di wilayah barat. Fretilin yang tidak punya pilihan lain akhirnya memproklamasikan kemerdekaan Timor-Leste dengan nama resmi Negara República Democrática de Timor-Leste‘ pada senja hari 28 November 1975, setelah pada pagi harinya tentara Indonesia merebut kota Atabae yang telah beberapa hari diserang dari darat, laut, dan udara.[34]
Selanjutnya pada 7 Desember Indonesia melakukan serangan besar-besaran terhadap kota Dili. Fretilin yang telah mengantisipasi invasi tersebut mengungsikan para pemimpin dan pasukan tentara ke pedalaman. Bersama mereka ikut mengungsi sekitar 85% penduduk sipil. Dengan terjadinya invasi maka pecahlah perang terbuka antara Forças Armadas de Libertação Nacional de Timor-Leste (Falintil) melawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI yang mengira akan bisa cepat mengalahkan Falintil, ternyata menghadapi perlawanan yang keras dan sampai 1977 hanya berhasil menguasai kota-kota di jalan utama, sementara wilayah pedalaman berada di tangan Fretilin.
Bagi Fretilin, invasi Indonesia adalah agresi asing terhadap suatu bangsa yang sedang melancarkan perjuangan membangun struktur masyarakat yang bebas dari penindasan dan penghisapan. Tentara Indonesia mereka pandang sebagai ‘kaki tangan imperialis‘ yang melakukan agresi militer demi kepentingan penguasa imperialis dunia, Amerika Serikat. Fretilin memandang bahwa perang yang mereka lakukan adalah perang revolusioner yagn merupakan ‘bagian dari perjuangan rakyat-rakyat di seluruh dunia melawan penjajahan.’[35]
Di wilayah-wilayah yang dikuasai Fretilin, para kader politik memulihkan struktur pemerintah yang telah mereka selenggarakan setelah perginya pemerintah kolonial dan meneruskan program-program membangun sturktur-struktur yang memungkinkan rakyat hidup tanpa penindasan dan penghisapan‘ dengan lebih intensif karena sekarang merek juga harus memberikan dukungan logistik untuk tentara Falintil. Mereka membangun struktur organisasi sipil Fretilin dari tingkat aldeia (kampung), zona (desa), região (region), hingga sector (wilayah). Di tingkat aldeia dan zona, rakyat diorganisir dalam regu-regu (equipa) untuk melaksanakan kegiatan produksi pertanian, kesehatan, dan pendidikan, serta penjagaan keamanan. Agar perempuan bisa terlibat dalam semua kegiatan itu juga didirikan creche (tempat pengasuhan anak) yang diselenggarakan oleh regu-regu secara bergiliran yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa. Mengikuti gerakan-gerakan pembebaban nasional di koloni-koloni Portugis di Afrika, wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Freitlin di hutan disebut ‘zonas libertadas‘ (wilayah yang telah dibebaskan).[36] Tugas Falintil adalah melindungi rakyat di zonas libertadas yang sedang membangun kehidupan baru yang bebas dari penindasan, penghisapan, kebodohan dan penyakit. Falintil ditempatkan di bawah Concelho Superior da Luta (Dewan Tertinggi Perjuangan) yang merupakan organ dari Komite Sentral Fretilin yang berwenang mengambil keputusan tertinggi mengenai masalah-masalah militer.
Zonas libertadas bertahan hingga akhir 1978. Sejak sekitar Agustus 1978 Indonesia melakukan ofensif militer besar-besaran dengan menggunakan pesawat-pesawat terbang perang yang diperoleh dari Amerika Serikat dan Inggris. Fretilin yang tidak punya senjata berat dan misil anti serangan udara, tidak bias bertahan. Pimpinan Fretilin membuat keputusan bahwa penduduk sipil turun dari gunung untuk menyerah kepada tentara Indonesia, tidak lagi tinggal bersama Fretilin. Setelah ofensif ini berakhir, hanya lima orang anggota Komite Sentral Fretilin yang bertahan di hutan, lainnya mati, tertangkap dalam pertempuran atau menyerah.[37] Unit-unit Falintil yang selamat jumlahnya tidak banyak dan tersebar terputus satu sama lain. ‘Perang posisi‘ mempertahankan satu wilayah dengan penduduk di dalamnya telah berakhir dengan kekalahan Falintil. Upaya menciptakan kehidupan baru yang bebas dari penindasan dan penghisapan berakhir. Rakyat yang menyerah kepada tentara Indonesia selanjutnya hidup di bawah kekuasaan pemerintah pendudukan yang menjalankan kontrol ketat terhadap mereka.
Para pemimpin Fretilin, komandan Falintil, dan pasukan Falintil yang berhasil menghindari apa yang mereka sebut cerco e aniquelamento (‘pengepungan dan pemusnahan‘) oleh tentara Indonesia baru bias mengadakan pertemuan reorganisasi setelah dua tahun kemudian. Selanjutnya mereka ini melanjutkan perang perlawanan dengan membagi pasukan dalam unit-unit kecil sekitar tujuh orang yang beroperasi tanpa pangkalan tetap melancarkan serangan-serangan gerilya terhadap tentara Indonesia,[38] perang telah berubah dari ‘perang posisi‘ menjadi ‘perang gerilya.‘
Satuan-satuan Falintil yang terus melancarkan perang bersenjata harus mencari dukungan logistic dari rakyat yang hidup di wilayah yang diduduki Indonesia, karena sekarang tidak ada lagi dukungan logistik dari zonas libertadas. Untuk itu para kader Fretilin yang tersisi sekarang berubah tugasnya tidak lagi mengorganisasikan penduduk sipil dalam program-program sosial-politik, tetapi mengorganisasikan saluran logistik dan informasi (intelijen) dari penduduk yang tinggal di wilayah pendudukan ke gerilya Falintil di hutan.
Perjuangan Nasionalis Non-Partisan
Sejak hancurnya zonas libertadas perjuangan satu-satunya yang dilaksanakan di dalam negeri[39] melawan pendudukan Indonesia adalah perjuangan bersenjata oleh Falintil. Secara perlahan-lahan Falintil pun menjadi dominan dalam perjuangan. Struktur sipil yang didirikan setelah reorganisasi 1981 pada dasarnya adalah pendukung militer dan para kader politik bekerja di bawah pengarahan komandan-komandan militer Falintil. Peran mereka sekarang adalah ‘penghubung‘ antara satuan-satuan Falintil di hutan dengan penduduk sipil di wilayah pendudukan. Badan otoritas tertinggi Komite Sentral Fretilin memang masih ada, teatpi karena kegiatan politik seperti di masa zonas libertadas tidak ada lagi dan mayoritas anggota badan ini juga menjadi komandan militer Falintil, perlahan-lahan badan ini menjadi tidak penting lagi. apalagi pemimpin tertinggi Fretilin di dalam negeri, yaitu jabatan Comissário Política Nacional dijabat oleh orang yang sama dengan yang menjadi Panglima (Comandante-em-Chefe) Falintil, yaitu José Alexandre Gusmão (Kay Rala Xanana). Inilah latar belakang mengapa Concelho Revolucionária da Resistência Nacional (CRRN – Dewan Nasional Perlawanan Nasional) yang dibentuk pada 1981 oleh Komite Sentral Fretilin untuk memimpin perlawanan menjadi sering identik dengan Falintil.
Pembentukan Concelho Nacional da Resistência Maubere (CNRM – Dewan Nasinal Perlawanan Maubere) untuk menggantikan CRRN pada 1987 merupakan kelanjutan dari perubahan-perubahan tersebut. Kesadaran dari sementara pemimpin bahwa kemerdekaan tidak akan bisa dicapai melalui perang, karena keunggulan kekuatan militer Indonesia, membuat semakin pentingnya dicari penyelesaian damai melalui arena internasional. Perjuangan di bidang diplomasi yang telah dilancarkan sejak sebelum proklamasi Republik Demokratik Timor-Leste 1975 mendapatkan arti penting yang baru. Dukungan internasional tidak hanya dicari dari negara-negara Non-Blok dan Blok Sosialis, tetapi terutama diupayakan untuk diperoleh dari negara-negara demokrasi liberal kapitalis maju yang sebelumnya lebih banyak mengabaikan Timor-Leste. Ini karena realpolitik di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengharuskan agar resolusi-resolusi mendapatkan dukungan mereka agar bisa dilaksanakan.[40]
Sementara kenyataan adanya orang-orang yang bukan anggota/pendukung Fretilin tetapi mau berbuat sesuatu untuk memerdekakan tanah air membuat sebagian pemimpin Fretilin/CRRN/Falintil memandang perlu dibentuknya wadah baru yang bisa menampung semua partai politik dan kekuatan-kekuatan social politik lain‘ yang menginginkan kemerdekaan. CNRM adalah wadah baru yang dimaksudkan untuk menampung semua kekuatan itu dalam satu strategi ‘Unidade Nacional‘ (Persatuan Nasional) melawan pendudukan dalam tiga front: front bersenjata di hutan, front politik/bawah tanah di desa/kota di Timor-Leste maupun Indonesia, dan front diplomatik di arena internasional. Seiring dengan itu, Falintil pun mengalami despartidarização (pemutusan hubungan kepartaian) dari Fretilin, dan menjadi kekuatan bersenjata nasional‘ yang secara teoritis langsung berada di bawah CNRM (bukan kekuatan bersenjata partai yang berada di bawah komando Falintil). Untuk itu semua, Fretilin meninggalkan ideologinya dan Falintil dilepaskan hubungan kepartaiannya dengan Fretilin. Keadaan ini berlanjut dengan pembentukan Concelho Nacional da Resistência Timorense (CNRT – Dewan Nasional Perlawanan Bangsa Timor) menggantikan CNRM pada bulan Maret 1998 di Peniche, Portugal hingga berakhirnya pendudukan Indonesia melalui suatu Referendum yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 30 Agustus 1999.
Dengan politik baru ini, Falintil berperang gerilya bukan dengan tujuan untuk memenangkan perang, tetapi untuk memberi tahu dunia bahwa perang masih berlangsung di Timor-Leste dan bahwa rakyat Timor-Leste tetap menginginkan kemerdekaan.[41] Agar Falintil bisa melanjutkan perjuangan bersenjatanya maka dibangun jaringan bawah tanah, yang kemudian berkembang tidak hanya sebagai jalur pemasok logistik dan informasi untuk satuan-satuan Falintil, tetapi juga berkembang menjadi gerakan pembangkangan sipil yang mulai sekitar 1989 melancarkan demonstrasi -demonstrasi menuntut kepergian tentara Indonesia dari Timor-Leste.[42] Selanjutnya gerakan bawah tanah ini menjadi berkembang pesat hingga menjangkau wilayah luar Timor-Leste, seperti Timor Barat, Bali, Jawa, bahkan Sumatera dan Sulawesi ketika pemuda-pemuda Timor-Leste mendapatkan beasiswa dari pemerintah pendudukan Indonesia untuk mengikuti pendidikan di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia membangun sel-sel perlawanan bawah tanah. Sejak awal 1990-an gerakan bawah tanah ini menjadi tulang punggung perjuangan pembebasan nasional.
Tetapi meskipun berperan utama dalam perjuangan, organisasi-organisasi bawah tanah berada di bawah komandan satuan-satuan Falintil atau langsung di bawah Panglima Falintil. Dalam struktur CNRM di dalam negeri, ada dua front perjuangan, yaitu Frente Armada dan Frente Clandestina, tetapi keduanya berada di bawah wewenang pemimpin tertinggi Kay Rala Xanana, yang memegang dua posisi sekaligus, yaitu Ketua CNRM dan Panglima Falintil. Secretário de Frente Clandestina, pemimpin tertinggi gerakan bawah tanah berada di bawah pimpinan Kay Rala Xanana. Keadaan seperti ini terus berlangsung di masa CNRT hingga berakhirnya pendudukan Indonesia pada 1999.
Ringkasnya, gerakan pembebasan nasional Timor-Leste telah mengalami perubahan dalam hal organisasi, politik, dan strategi perjuangan. Di masa lalu perjuangan dipimpin oleh Fretilin sebagai pelopor yang mengobarkan ‘revolusi‘ membangun struktur-struktur baru yang memungkinkan rakyat hidup tanpa penghisapan dan penindasan. Selanjutanya perjuangan dipimpin oleh Falintil untuk mengusir tentara Indonesia dari Timor-Leste melalui jalan diplomasi di dunia internasional untuk pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste. Peran Fretilin secara bertahap bergeser digantikan oleh CRRN, kemudian CNRM, dan terakhir CNRT, yang pada kenyataannya didominasi oleh Falintil, khususnya panglimanya (Kay Rala Xanana) yang dalam konferensi pembentukan CNRT dinobatkan sebagai ‘Lider Maximo‘ (Pemimpin Tertinggi). Tujuan akhir perjuangan pun berubah dari menghapuskan struktur-struktur masyarakat kolonial dan mencegah neo-kolonialisme menjadi semata-tama mengusir penguasa pendudukan Indonesia untuk mendirikan negara merdeka, sesuatu yang dalam perspektif asli Fretilin dipandang semata sebagai ‘perubahan warna kulit penjajah.‘[43]
[1] Helen Mary Hill, Gerakan Pembebasan Nasional Timor Lorosae (Dili: Yayasan HAK & Sahe Institute for Liberation, 2000).
[2] Portugis menganggap penjajahan yang dilakukannya terhadap negeri-negeri Afrika dan Asia sebagai misi ‘civilização (pemberadaban) untuk membuat rakyat-rakyat negeri-negeri tersebut yang mereka anggap ‘biadab’ menjadi ‘beradab’ (‘civilizado).
[3] Dikutip oleh Hill, Gerakan Pembebasan Nasional, h. 65, dari ―FRETILIN‘s Liberation Struggle in East Timor, New Perspectives, Vol. 7, No. 4 (1975), h. 27.
[4] Namun para anggotanya berusaha menyebarkan pandangan-pandangan mereka dengan menulis pada jurnal terbitan Gereja Katolik, Seara. Kritik-kritik mereka pada pemerintah kolonial membuat jurnal ini ditutup pemerintah pada 1973.
[5]Terjemahan Inggris pernyataan lengkap perkumpulan ini dimuat sebagai lampiran dalam Jill Jolliffe, Nationalism & Colonialism, h. …
[6] Pada masa selanjutnya banyak dipercaya bahwa para mahasiswa itu ―mengubah‖ Fretilin menjadi radikal atau bahkan ―komunis‖ setelah kepulangan mereka ke Timor-Leste. Marí Alkatiri, salah seorang pendiri ASDT, mengatakan bahwa radikalisasi telah terjadi sebelum kedatangan para mahasiswa tersebut. (Kesaksian pada Dengar Pendapat Umum CAVR, Desember 2003).
[7] Tiga tahun selanjutnya, rumusan tentang kemerdekaan menjadi lebih jelas: kemerdekaan adalah kesederatan antar manusia dengan “mengakhiri ketidaksederajatan situasi kolonial, yang didasarkan pada eksploitasi suatu mayoritas terhadap mayoritas.Minoritas kolonialis dan kamu kaya yang menghisap mayoritas.” (Resolusi konferensi nasional Fretilin, Laline, 20 Mei 1977. Resolusi konferensi ini diterjemahkan ke dalam bahas Inggris dipublikasikan di Australia dengan judul “National Independence Is Not Only a Flag and an Anthem” East Timor News, No. 36, 29 Juni 1978).
[11] Ibid., butir 9. Fretilin menyebutkan adanya dua jenis kelaparan, yaitu “kelaparan kuantitatif” dan “kelaparan kualitatif”.
[15] … libertação do Povo tem de ser completa e total. É necessário que todos, mas todos sem exepção participem activamente no governo da Nação. O Povo tem de estar esclarecido para decidir a sua vida. Não pode continuar ignorante para que ninguém possa aprovietar-se desta ignoráncia e explorá em seu benefico. É necessário que todos, todos saibam exactamente o que querem e porque querem. Que a política não seja um tema estranho e vago só para senhores doureores. É necessário que o Povo esteja esclaracido para reclamar a solução dos seus problemas, para não continuar a ser enganado e deopois, que entrave é ppara o desenvolvimento do nossa cultura a alto grau de analfabetismo em que vivemos!
Como podemos desenvolver a nossa litetatura, a nossa poesia se estas a expressão do Povo e o Povo não sabe escrever? Quantos valores se perdem por existir apenas uma tradição oral. Valores que passam de pais para filhos, mas a memória humana é limitade, e muitas, muitas coisas se perdem. Para contruimos um Timor verdadeiramente livre e indpendente, é necessário que todos, homens, mulheres, velhos, jovens e crianças, todos saibam ler e escrever.
Assim, a FRETILIN vai iniciar desde já uma grande campanha de alfabetização num ensino verdadeiramente libertador, que irá libertar os nosso povo dos 500 anos de obscurantismo. Todos os Timores aprenderão a ler e a escrever. A todos, a FRETILIN irá esclarecer sobre os princípios que defende e estimular o espírito critico para que todos participem activamente no Governo da Nação constituindo assim uma verdadeira domocracia.‖ (Manuel e Programa Políticos, h. 18).
[16]Tulisan-tulisan Freire dibaca oleh para mahasiswa Timor-Leste di Portugal. Kemungkinan mereka juga menyaksikan metode ini dalam praktek yang dilaksanakan oleh gerakan-gerakan pembebasan nasinoal di Angola dan Moçambique.
[18] Jose Ramos-Horta, ―FRETILIN‘s Literacy Program in Timor,‖ Alternative News Service, No. 46 (1975).
[19]“Porque todos devemos conhecer as mais elémentares regras de higiene. Todos devemos saber tratar uma ferida. Todos devemos saber tratar as nossas crianças, cuidar dos nossos velhos. A nossa educação tem de ser táo complete quanto possivel para que possamos contar realmente com as nossas próprias forças para construirmos um Timor melhor. Cada um e todos nos devemos conhecer o valor alimentar de cada produto para que a nossa alimentação possa ser variada e rica, fortificante e saudável para que todos possam gozar de boa saúde.” (Manual e Programa Políticos, h. 20, butir 13).
[21] Hill, op. cit. h. 95. Pada masa kolonial, sebutan “malae” tidak hanya untuk orang yang berasal dari luar Timor-Leste, orang Dili oleh orang desa juga disebut “malae”.
[22]Kalaupun ada persekutuan kerajaan-kerajaan dengan wilayah yang luas di pulau Timor (bernama Wewiku- Wehali), pusatnya bukan di Timor-Leste tetapi di wilayah yang sekarang termasuk Kabupaten Belu, Indonesia.
[23] Liem Sioe Liong dan Carmel Boediardjo menyebut Fretilin sebagai “organisasi politik pertama [di Timor-Leste] yang mengembangkan kebudayaan sebagai bagian dari programnya.” (The War Against East Timor, h …).
[24]Barlaque adalah tradisi pernikahan yang mengharuskan keluarga pengantin laki-laki membayarkan sejumlah barang yang sangat besar nilainya kepada keluarga pengantin perempuan.
[25]Dalam rangka menumbuhkan kesedarajatan antara laki-laki dan perempuan yang dididik bukan hanya perempuan tetapi juga laki-laki agar mereka memperlakukan perempuan sebagai companheiro em luta (‘rekan seperjuangan’).
[26]Pandangan Fretilin mengenai ini diungkapkan dalam tulisan Sekretaris OPMT Rosa Bonaparte “Muki” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dengan judul “Timorese Women Are Fighting on All Fronts,” East Timor News (Bulletin of the East Timor News Agency), No. 14, 25 Agustus 1977.
[31]Dalam pemilihan umum ini, calon tidak diajukan oleh partai politik tapi secara perorangan. Mayoritas yang terpilih adalah calon-calon yang anggota Fretilin. (Hill, op. cit., h. 126).
[32] Ini antara lain dikemukakan oleh pemimpin UDT João Carrascalão dalam dengar pendapat terbuka CAVR mengenai Konflik Politik Internal, 18-20 Desember 2003.
[33]Selain Palang Merah Internasional yang beroperasi sampai saat-saat terakhir menjelang invasi Indonesia 7 Desember 1975, sejumlah organisasi non-pemerintah asing beroperasi di Timor-Leste, dan delegasi Parlemen dan Senat Australia sempat berkunjung untuk meninjau keadaan.
[35] Lihat pidato yang dipersiapkan oleh delegasi Fretilin di luar negeri (Abílio Abrantes de Araújo) untuk dibacakan di hadapan Sidang Umum Komite Keempat PBB, 20 November 1978 (dipublikasikan dalam East Timor News, ???).
[36]Sebutan ini sebenarnya mengikuti perang pembebasan nasional Cina yang dilancarkan oleh Tentara Pembebasan Rakyat di bawah pimpinan Partai Komunis Cina.
[37]Yang masih hidup adalah Juvenal Inacio (Sera Key), Fernando Txay, Inácio Fonseca (Solan), António Manuel Gomes da Costa (Ma‘hunu), dan José Alexandre Gusmão (Kay Rala Xanana). Namun tiga orang yang disebut pertama ini kemudian pada 1979 atau awal 1980 tertangkap tentara Indonesia dan “hilang”.
[38]Ada kesaksian bahwa pada awal 1980-an Kepala Staf Falintil Kilik Wae Gae melakukan persiapan untuk membentuk satu batalyon pasukan lengkap dengan pangkalannya. Tetapi ini tidak dilanjutkan. (Lere Anan Timor, wawancara Tuba Rai Metin, 2001).
[39]Beberapa hari sesudah proklamasi Republik Demokratik Timor-Leste, sejumlah anggota penting Komite Sentral Fretilin yang menjabat dalam Kabinet Pemerintah RDTL dikirimkan ke luar negeri untuk mengalankan perjuangan diplomatik, yang baru berakhir setelah pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri dalam Referendum 1999. Mereka ini antara lain adalah Mari Alkatiri, José Ramos Horta, dan Rogério Lobato.
[40]Resolusi-resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB yang mengutuk invasi Indonesia dan menyerukan penarikan mundur tentara Indonesia dari Timor-Leste tidak bisa dilaksanakan karena tidak ada dukungan nyata yang cukup dari negara-negara kapitalis maju demokrasi liberal.
[41]Satu tinjauan tentang strategi Fretilin yang dibuat oleh tentara Indonesia pada 1983 menyebutkan bahwa tujuan perang yang dilancarkan oleh Fretilin adalah: a) mempertahankan diri dengan menghindari pertempuran yang menentukan agar punya waktu untuk memulihkan kekuatan, sementara menumbuhkan motivasi yang tinggi dan disiplin yang kuat; b) memelihara dan mengembangkan jaringan dukungan di wilayah pemukiman dan di kota-kota; c) memperlihatkan kehadiran atau keberadaan mereka, terutama pada bulan-bulan sebelum Sidang Umum PBB; d) menciptakan kondisi dalam mana ABRI merasa tidak aman di manapun mereka berada; e) menciptakan pangkalanpangkalan bergerak di banyak wilayah, terutama di desa-desa yang subur yan gsekarang ditinggalkan oleh
penghuninya. (Lampiran Dokumen 3 dalam Budiardjo dan Liem, The War Against East Timor, h. 197).
[42]Para aktivis pemuda Timor-Leste juga mendapatkan ilham dari gerakan Intifada pemuda Palestina (1987) melawan tentara pendudukan Israel, yang mereka saksikan dalam berita-berita yang disiarkan acara ―Dunia Dalam Berita‖ Televisi Republik Indonesia yang bisa ditonton di kota-kota maupun di desa-desa dimana pemerintah Indonesia menempatkan televisi umum. Ada yang bahkan menyamakan perlawanan pemuda Timor-Leste dengan Intifada (perlawanan pemuda Palestina terhadap pendudukan Israel). Lihat antara lain kesaksian Donaciano Gomes, ―The East Timor Intifada: Testimony of a Student Activist,‖ dalam Peter Carey dan G. Carter Bentley [penyunting], East Timor at the Crossroads: The Forging of a Nation , London: Casell, 1995, h.106-108; Constâncio Pinto dan Matthew Jardine, East Timor’s Unfinished Struggle: Inside the Timorese Resistance, Boston, MA: South End Press, 1996, h. 118-120.
Komentar
Posting Komentar