‘Failed State’ dan Kebangkitan Borjuasi Timor-Leste
Oleh Rahun Nasution
Pada
hari Rabu, 24 April 2006, dari depan Palácio das Cinzas (Istana Abu), ketika
dua utusan demonstran tentara petisioner yang dipecat markas Falintil-Força de
Defesa de Timor-Leste (F-FDTL) yang dipimpin oleh Letnan Satu Gastão Salsinha
bertemu dengan presiden Xanana Gusmão untuk menyampaikan tuntutan mereka, Eric
Campbell melaporkan pada Radio Australia: “The march began peacefully but
soon turned into a violent ethnic clash as protestors attacked a market run by
stallholders from the country’s eastern regions. 591 soldiers form the western
regions were dismissed last month after they went AWOL (Absent Without Leave)
claiming their commanders were favouring eastern soldiers.” [Barisan
demonstrasi itu dimulai dengan damai tetapi segera berubah menjadi bentrokan
etnik yang keras ketika para pemrotes menyerang satu pasar yang para penjualnya
berasal dari wilayah timor negeri itu. 591 prajurit dari wilayah barat dipecat
pada bulan lalu setelah mereka meninggalkan markas di luar cuti, menuduh para
komandan mereka mengistimewakan prajurit dari wilayah timur].
Keesokan
harinya, Suara Timor Lorosa’e (STL), koran nasional terbitan Dili
yang bertiras tidak lebih dari 1000 eksemplar, menulis dua berita pada halaman
utama dalam bahasa Tetun dan Indonesia, Demo Petisionariu Lao Ho Diak
(Demo Petisioner Berjalan Baik) dan Keributan Warnai Aksi Demo F-FDTL
‘Petisi’.
Proses
pengemasan pesan (Framing of political messages) yang dilakukan STL
menunjukkan kecerobohan redaksional yang fatal sehingga kedua berita yang
mereka produksi menjadi kontradiktif dan sebagai berita sama sekali tidak bisa
dipercaya. Pada satu berita Demo Petisioner Berjalan Baik, sementara
pada kolom di bawahnya Keributan Warnai Aksi Demo F-FDTL.
Pada
kasus laporan Eric Campbell, publik di Australia digiring pada satu ‘rekayasa’
peristiwa politik bahwa di Dili sedang terjadi satu kekacauan yang luar biasa,
yang Campbell laporkan sebagai bentrokan etnik (ethnic clash) yang keras.
Pada
hari pertama demontrasi tentara petisioner F-FDTL, saya meliput peristiwa
tersebut bersama puluhan jurnalis lokal dan internasional. Memang terjadi
keributan di sekitar Mercado Lama. Sekelompok orang yang berada di wilayah
pasar melakukan pelemparan ke arah demonstran. Peristiwa ini terjadi disebabkan
reaksi spontan karena ungkapan-ungkapan simpatisan demonstran tidak bisa mereka
terima, seperti yang diyakini banyak jurnalis yang berada di lokasi kejadian.
Kemungkinan lainnya, pelemparan itu merupakan satu rekayasa agar terjadi
benturan etnik. Dan Jika asumsi kedua ini yang benar, maka peristiwa pelemparan
itu sudah menjadi agenda politik terselubung yang ingin membenturkan masyarakat
bawah Timor-Leste.
Menjelang
pertengahan April di Dili beredar rumor lewat mulut ke mulut, melalui SMS
ataupun telepon selular yang isinya memecah-belah masyarakat Timor-Leste ke
dalam dua kubu: lorosa’e (bagian timur) versus loromonu (bagian barat). Menurut
rumor tesebut, perpecahan ini akan memicu terjadinya perang saudara. Bermula
dari rumor yang tidak jelas asal-usulnya ini, penduduk Dili pun mulai melakukan
eksodus dengan mengungsi ke tempat-tempat yang dianggap aman ataupun kembali ke
kampung halaman di distrik asal masing-masing.
Pada
bulan Februari, sebelum presiden Xanana Gusmão melakukan lawatannya ke
Portugal, tentara petisioner F-FDTL melakukan aksi protes ke Palácio das Cinzas
menuntut penyelesaian masalah diskriminasi yang mereka persoalkan. Selain ke
Presiden dan Parlemen Nasional, mereka juga mengirimkan tembusan tuntutan
mereka ke keduataan-kedutaan asing di Timor Leste. Presiden Xanana meminta
mereka kembali ke markas dan menyelesaikan persoalan ini dalam institusi
F-FDTL. Bulan Maret, Panglima F-FDTL Brigadir Jenderal Taur Matan Ruak
mengumumkan pemecatan 591 anggota F-FDTL dengan alasan indisipliner
meninggalkan markas. Pemecatan itu diumumkan menjelang kepulangan presiden
Xanana Gusmão ke Timor-Leste.
Melalui
pidato kenegaraan yang disiarkan Radio no Televisaun Timor-Leste (RTTL),
presiden Xanana menilai keputusan markas F-FDTL tidak adil, namun sebagai
kepala negara, presiden menerima keputusan tersebut. Dalam pidatonya presiden
Xanana juga mengatakan bahwa Panglima F-FDTL mengatakan, “Kalau perang, ya
perang.” Tidak jelas kapan dan dalam konteks apa ucapan itu disampaikan.
Presiden juga menyebut adanya anggapan dalam F-FDTL bahwa orang loromonu tidak
berjuang dan loromono itu adalah 10 distrik, mulai Manatuto sampai Oecusse.
Mulai saat itulah, persoalan diskriminasi dalam insititusi militer yang
diangkat petiosioner ini berkembang menjadi desas-desus akan pecahnya perang
saudara: tiga distrik di timur (Lospalos, Viqueque, dan Baucau) melawan sepuluh
distrik lainnya. Dan berbagai rumor pun mulai berkembang di kalangan luas.
Tetapi tidak terjadi perang saudara di Timor Leste. Pro-kontra mengenai
pemecatan anggota F-FDTL tersebut terus berkembang.
Para
tentara petisioner, di bawah pimpinan Gastão Salsinha, selanjutnya mengadakan
demonstrasi dan rapat umum mulai 24 April menuntut agar Presiden Xanana
membentuk satu komisi untuk menyelidiki diskriminasi dalam F-FDTL. Pada hari
keempat, 28 April, demonstrasi yang semula damai berakhir dengan kekerasan.
Menurut versi pemerintah 4 orang sipil meninggal, terjadi pembakaran
rumah-rumah penduduk dan sejumlah kios, di Taci Tolu dan pasar Taibesi. Aksi
lanjutan pada 8 Mei yang lalu berlangsung distrik Ermera dengan menewaskan satu
anggota polisi dari kesatuan UIR (Unit Gerak Cepat). Selain menuntut pemerintah
menyelesaikan persoalan tentara petisioner F-FDTL secepatnya, mereka juga
menyerukan pomboikotan administrasi pemerintahan lokal di sepuluh distrik
Timor-Leste. Dan aksi pemboikotan yang ingin melumpuhkan pemerintahan Mari
Alkatiri itu tidak direspon masyarakat.
Pada
edisi Selasa 9 Mei 2006, harian Kompas, satu rezim media yang punya
pengaruh besar di Indonesia, memuat satu artikel Timor-Leste dan
"Negara Gagal" yang ditulis Baiq LSW Wardhani, seorang staf
pengajar Political Affairs di Universitas Airlangga (UNAIR), Surabaya. Sekali
lagi, secara ceroboh STL mempublikasikan kembali artikel ini dalam kolom
opini mereka melalui ‘keajaibain’ teknologi download internet. Opini
tersebut merupakan satu penyikapan intelektual yang bias dan berusaha
menggiring opini di Indonesia bahwa peristiwa politik aktual di Timor-Leste
sedang mengarah pada kegagalan sebuah negara (failed state/disrupted state).
Konyolnya, STL memuat kembali tulisan yang bias dan tidak akurat dari
luar negeri mengenai negerinya sendiri.
Wardhani
menggunakan indikator “kekacauan” politik di Timor-Leste dengan berargumen
“jika kekacauan politik ini terjadi secara terus-menerus, maka akan terjadi
fragmentasi elit politik yang menimbulkan ketidakmampuan satu negara untuk
mengatasi konfliknya sehingga mengundang intervensi pihak asing.” Dalam
pemaparannya Wardhani menyalahkan sikap asing, khususnya sikap mendua Australia
yang dia istilahkan sebagai “dokter” yang tidak bertanggungjawab yang membidani
kelahiran negara baru ini. Di satu sisi Australia mencoba jadi dewa penolong
dan di sisi lain secara serakah ingin menguasai kekayaan Timor-Leste di Celah
Timor, demikian tuduh Wardhani.
Argumen
ini menunjukkan ketidaktahuan penulisnya pada situasi politik aktual di
Timor-Leste ketika menjalani transisi menuju negara merdeka dan sesudahnya.
Atau bisa jadi argumen ini juga bersumber dari rumor dan desas desus yang
beredar di media massa baik di Timor-Leste ataupun media luar khususnya di
Australia dan Indonesia. Saya sendiri curiga, argumen ini merupakan kekecewaan
kaum ‘nasionalis’ di Indonesia yang menyesalkan “berpisahnya” Timor-Leste dari
Republik Indonesia. Apakah STL juga menyesalkan perpisahan ini?
Jika
kita melihat berbagai faktor peristiwa politik di Timor-Leste untuk memulai
diskusi tentang negara gagal (failed state/disrupted state),
faktor-faktor yang mendukungnya belum ada sehingga menjadikan diskusi ini tidak
relevan. Karena kategori-kategori negara gagal (satu teori yang sangat
pro-pasar), tidak terjadi pada politik aktual di Timor-Leste. Selain
instabilitas politik melalui konflik parmanen antar kelompok-kelompok politik,
etnis, agama, dan ras yang terjadi di sebuah negara, indikator terpenting yang
menjurus pada gagalnya sebuah negara adalah proses pemiskinan sistematis. Dari
berbagai kebijakan yang diterapkan pemerintah Timor-Leste dalam program
pembangunannya, belum menunjukkan ketidakmampuan negara untuk menyediakan
pelayanan publik. Jadi maklum saja, jika analisis Wardhani tersebut hanya
berdasarkan rumor yang berkembang di media massa.
Ketika
kerusuhan mulai berlangsung, 28 April, dengan pembakaran sejumlah kenderaan di
depan Palácio do Governo, ada satu peristiwa penting yang nyaris luput dari
perhatian media massa: presiden Xanana Gusmão dan Perdana Menteri Alkatiri
sedang berada di Hotel Timor mengikuti seminar yang diselenggarakan Forum
Empresario Timor-Leste (Forum Pengusaha Timor-Leste). Satu forum pengusaha yang
didukung oleh badan bantuan pembangunan pemerintah Amerika Serikat, USAID
melalui program Dezemvolve Setor Privada (Pengembangan Sektor Swasta).
Di
tengah ‘krisis’ yang dihadapi pemerintah Mari Alkatiri, pada tanggal 8 Mei,
Menteri Pembangunan dan Perekonomian Abel Ximenes (Larissina) mengundurkan
diri. Meskipun sebagian kalangan melihat adanya perbedaan Abel Larissina dengan
Mari Alkatiri mengenai arah negara ini, Abel membantah hal ini. Abel Larissina
hanya mengatakan bahwa dia akan kembali ke Fretilin untuk memperkuat partai dan
sebagai pengusaha akan mengembangkan penguatan sektor swasta.
Dalam
minggu ini, 16-19 Mei, Fretilin akan melangsungkan Kongres Nasional II. Abel
Larissina dan kelompoknya merupakan satu kekuatan yang berpengaruh pada kongres
yang akan memilih dan menetapkan kembali presiden dan sekretaris jenderal
Fretilin, yang saat ini dijabat Lu Olo-Mari Alkatiri.
Sebagai
negara baru Timor-Leste dibentuk dengan melibatkan campur tangan negara-negara
asing dan menyisakan berbagai persoalan yang menuntut untuk segera
diselesaikan. Perdebatan politik dalam pembentukan institusi-instiusi negara
mengalami ‘kemandegan’ dan Timor-Leste ‘dipaksa’ untuk menerima berbagai
kebijakan yang kemudian menimbulkan permasalahan. Sementara itu, proses
rekonsiliasi yang berlangsung juga tidak menjawab tuntutan keadilan yang
diperjuangkan banyak kalangan.
Satu
warisan PBB yang cukup bermasalah adalah pembentukan institusi angkatan
bersenjata F-FDTL. PBB membentuk angkatan bersenjata Timor-Leste mengacu pada
satu studi yang dilakukan oleh King’s College (Inggris) pada bulan Mei 2000 dan
melalui Regulasi United Nation Transition Adminstration in East Timor (UNTAET)
No. 1 tahun 2001 (UNTAET/REG/2001/1). Institusi F-FDTL dibentuk melalui
persetujuan dari National Council (Dewan Nasional) yang saat itu dikepalai oleh
Xanana Gusmão.
Proses
rekrutmen dan pemberian pangkat mengakibatkan kekecewaan di berbagai kalangan
yang menganggap proses tersebut tidak adil (Buletin La’o Hamutuk, Vol. 6
No. 1-2 April 2005). Transformasi Falintil sebagai tentara pembebasan nasional
menjadi tentara reguler menghancurkan relasi yang berlangsung selama masa
perjuangan. Hubungan antara gerilyawan bersenjata dengan rakyat yang selama ini
didentikan dengan ikan dan air. Hubungan fundamental semacam ini tidak dianggap
penting dalam proses pembentukan institusi F-FDTL.
Rekrutmen
ini merugikan banyak gerilyawan yang sudah bertahun-tahun berpartisipasi dalam
perjuangan bersenjata, tetapi tidak lulus dalam ujian masuk F-FDTL karena
prasyarat kesehatan dan tinggi badan. Masalah lain adalah kepangkatan. Ada
komandan di hutan yang dalam F-FDTL mendapatkan pangkat serdadu biasa, sementara
pemuda yang selama ini membantunya sebagai estafeta malah berpangkat kapten.
Entah karena alasan tingkat pendidikan atau sebab lainnya, yang tidak terkait
dengan perjuangan Falintil sebelumnya.
Pada
perekrutan tahap awal, F-FDTL merekrut 600 orang dari satuan-satuan gerilyawan
Falintil. Mantan-mantan gerilyawan Falintil yang tidak masuk dalam daftar
perekrutan diintegrasikan ke dalam masyarakat melalui satu Program
Reintegration yang dikelola oleh IOM (International Organization of Migration)
dan didanai Bank Dunia.
Proses
reintegrasi ini juga mengakibatkan persoalan yang semakin pelik. Sebelum
dikembalikan pada masyakarat, mantan-mantan gerilyawan Falintil dibekali dengan
kursus-kursus kilat dan diberi bantuan dana untuk berdikari membuka usaha
kecil. Banyak dari usaha-usaha kecil yang tidak bisa berjalan karena kemampuan
managemen usaha sangat terbatas. Bisa jadi juga karena kesaharian mereka ketika
masih bergerilya di hutan terbiasa dengan urusan-urusan strategi peperangan.
Mari Alkatiri sendiri, pada program Visaun Governu di RTTL, diawal bulan ini,
mengungkapkan ketidaksetujuannya pada proses yang berlangsung ketika itu.
Sementara
itu, program pelatihan dan pendidikan di F-FDTL diserahkan pada negara-negara
asing terutama dari Australia dan Portugal yang bersedia memberi dana dan juga
mendatangkan pelatih-pelatih militer.
Jika
kita melihat dari proses pembentukan institusi F-FDTL yang bermasalah ini,
tuntutan 591 anggota F-FDTL petisioner yang mengangkat persoalan diskriminasi
memang ada dasarnya. Namun diskriminasi yang dipersoalkan dengan mengangkat isu
regionalisme, tentara wilayah timur versus tentara wilayah barat sepertinya
tidak tepat dan salah sasaran. Kenyataannya, dari proses pembentukan institusi
ini banyak bekas-bekas gerilwayan yang memilih mundur dan kembali ke masyarakat
menjadi orang sipil karena ketidaksenangan mereka pada proses ini ataupun
karena pilihan mereka sendiri. Mantan-mantan gerilyawan Falintil ini bisa
berasal dari wilayah barat maupun wilayah timur, seperti eks Comandante Samba
9, Secretário Renan Selac, Comandante Ernesto Dudu, Comandante Eli Foho Rai
Boot, dan lain sebagainya.
Jika
persoalan warisan PBB maupun persoalan-persoalan sejarah yang belum
diselasaikan ini hanya semata-mata ditimpakan pada pemerintahan Mari Alkatiri,
ini tidak ada dasarnya. Pandangan yang salah sasaran inilah yang sering
diekspos pada media massa Timor Leste dan Australia yang memandang pemerintah
Mari Alkatiri sebagai segala sumber persoalan. Media massa tidak melihat bahwa
Alkatiri justru berusaha meminimalkan atau bahkan menyingkirkan
kekuatan-kekuatan asing yang selama ini mendominasi pembuatan keputusan di
Timor-Leste.
Di
tengah berbagai kritik yang ditujukan pada pemerintah Alkatiri, baik dari
kamarada-kamaradanya di Fretilin maupun dari barisan oposisi, sejauh ini kita
belum melihat satu visi dan satu model ‘alternatif’ bagi pembangunan negara
baru ini. Serangan-serangan yang ditujukan pada Mari Alkatiri cenderung karena
kekecewaan dan tidak terakomodirnya kepentingan kelas borjuis Timor-Leste.
Lebih parah lagi, ada kalangan yang mempersoalkan kewarganegaraan, ras dan
agamanya yang islam.
Sistem
demokrasi liberal yang dipromosikan PBB secara otomatis menjadikan
partai-partai politik menjadi mesin elektoral. Partai sebagai mesin elektoral,
dalam hal ini Fretilin, akhirnya juga terjebak dalam model demokrasi yang
meminggirkan partisipasi rakyat.
Pada
tahun 1975 Fretilin mengintegrasikan perjuangan pembebasan nasional dengan
cita-cita pembebasan rakyat melalui program koperasi, pemberantasan buta huruf
dan pengembangan kebudayaan nasional. Saat itu Fretilin menjadi satu kekuatan
politik rakyat dengan visi yang jelas tentang masa depan Timor-Leste yang
merdeka. Sayangnya, ide-ide popular yang berkembang di tahun 1970-an ini
dianggap banyak kalangan di Fretilin sebagai ide yang sudah usang. Hanya
sebagian kecil elit Fretilin yang terus ingin mengembangkanya, salah satunya
adalah Mari Alkatiri.
Berbagai
kelemahan yang dihadapi Fretilin dan gempuran berbagai kepentingan asing, Mari
Alkatiri mencoba mencari satu jalan ‘alternatif’ bagi pembangunan Timor-Leste.
Memang tidak ada ruang politik untuk mengikuti jalan Venezuela, Brazil atau
Bolivia. Namun belajar dari kegagalan negara-negara lain, termasuk Indonesia,
Mari Alkatiri tidak menjerumuskan Timor-Leste dengan menghutang pada Bank Dunia
dan IMF. Kebijakan ini bukan hanya ditentang oleh barisan oposisi yang
pro-pasar, namun juga oleh kamarada-kamarada di Fretilin. Saat ini sebagian
besar dari elit Fretilin menduduki posisi-posisi penting di kabinet Mari
Alkatiri, salah satunya adalah Abel Ximenes Larissina yang kemudian
mengundurkan diri.
Tiga
sektor prioritas pembangunan pamerintah Alkatiri yakni sektor pendidikan,
pertanian, dan kesehatan juga menjadi sasaran kritik lainya. Kebijakan
kerjasama bilateral dengan pemerintah Kuba dan Cina sering dipersoalkan. Mari
Alkatiri dituding ingin menggiring negara baru ini mendekati Cina dan Kuba yang
‘komunis.’
Melalui
Departemen Kesehatan dan Pendidikan Timor-Leste, pemerintah mengirimkan ratusan
pelajar untuk belajar kedokteran ke Kuba dan secara voluntir pemerintah Kuba
mendatangkan dokter-dokter ke Timor-Leste untuk membantu pelayanan kesehatan
pada klinik-klinik yang tersebar luas di tiga belas distrik.
Pada
sektor pendidikan non-formal, untuk mengatasi 50% lebih masyarakat Timor-Leste
yang masih buta huruf, saat ini pemerintah menjalankan satu program
pemberantasan buta huruf. Pemerintah Kuba mendatangkan pelatih-pelatih
pendidikan popular yang akan bekerjasama dengan tenaga-tenaga pengajar di
komunitas.
Tentu
saja suara-suara miring yang ditujukan barisan oposisi pada Mari Alkatiri
didukung dan diperkuat melalui peran politik media. Mengamati standar
pemberitaan media yang liberal sekalipun, pemberitaan media massa di Timor
Leste terhadap Mari Alkatiri dan kebijakannya cukup mengkhawatirkan.
Kritik
yang dialamatkan pada Mari Alkatiri—‘yang ingin menggiring Timor Leste
mendekati Kuba dan Cina’—melalui pemberitaan media massa, tidak satupun yang dikonfirmasikan
pada pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya, dalam menulis mengenai rendahnya
mutu pelayanan dokter Kuba, surat kabar tidak mewawancarai pasien yang pernah
dirawat para dokter Kuba apalagi mewawancarai dokter-dokter itu sendiri.
Selain
kerjasama bilateral dengan Kuba dan Cina, sebenarnya pemerintah Timor-Leste
juga menerima berbagai macam bentuk bantuan dari negara-negara Barat. Pada
sektor peradilan dan pendidikan, pemerintah Australia, Amerika dan Portugal
juga memberikan bantuan dana. Badan-badan dana pemerintah negara Barat juga
menyediakan beasiswa bagi mahasiswa-mahasiswa Timor-Leste. Tapi kalau kita
bandingkan, beasiswa dari negara-negara Barat itu biasanya diberikan kepada
para mahasiswa yang menempuh pendidikan di bidang-bidang yang kurang bermanfaat
bagi rakyat dan kebanyakan lulusannya bukan bekerja untuk rakyat tetapi untuk
lembaga-lembaga internasional yang ada di Timor-Leste.
Sekelompok
aktivis yang terdiri dari mahasiswa dan pekerja NGO Dili, yang dikenal dengan Kelompok
Farol yang secara ide dan pemikiran sering ‘dicap’ dekat Mari Alkatiri,
melihat pertarungan politik yang terjadi saat ini mengarah pada konsolidasi
elit borjuis untuk menyingkirkan Mari Alkatiri. Baik pada pertarungan internal
Fretilin maupun pada pemilu 2007 yang akan datang. Pendapat ini mengemuka pada
satu diskusi hari Sabtu, 13 Mei lalu, yang berlangsung di Institutu Edukasaun
Popular untuk membahas perkembangan politik terakhir di Timor-Leste.
Tidak
semua kebijakan Mari Alkatiri didukung Kelompok Farol. Regulasi yang
mengatur keimigrasian dan undang-undang defamasi meresahkan kalangan aktivis
ini. Namun jika kita melihat kebijakan pengelolaan kekayaan Timor-Leste yang
diperoleh dari pendapatan minyak dan gas di Celah Timor, pendapat kaum aktivis
ini memiliki dasar argumen yang kuat.
Dalam
regulasi Undang-Undang Perminyakan, pemerintah Alkatiri mencoba mengatasi
‘malapetaka kekayaan sumberdaya’ yang sering dihadapi negara-negara yang kaya
akan sumber daya minyak namun mengalami kemiskinan parmanen dengan membentuk
satu insitusi Petroleum Fund. Satu institusi yang akan mengelola kekayaan
negara ini dipromosikan sebagai “Norwegia Plus”.
Melalui
Petroleum Fund, 90 % kekayaan negara yang diperoleh dari minyak dan gas akan
diinvestasikan ke dalam obligasi untuk kepentingan jangka panjang. Obligasi ini
bertujuan menghindari berbagai permasalahan yang umum dihadapi negara-negara
yang kaya minyak dan gas namun mengalami inflasi ekonomi domestik yang
memperlemah kompentisi mereka untuk memperbaiki kembali pendapatan negara
mereka.
Pendapatan
yang ada pada Petroleum Fund akan dimasukkan secara langsung ke dalam satu
rekening yang akan dikontrol oleh BPA (Otoritas Perbankan dan Pembayaran).
Untuk penggunaan dana tersebut diperlukan persetujuan dari Parlemen Nasional
dan harus melalui satu deklarasi dari tim auditor independen.
Selain
managemen kekayaan minyak dan gas yang diperoleh dari pendapatan hasil
kerjasama pemerintah Australia dan Timor Leste, pemerintah Alkatiri juga berencana
mendirikan satu perusahan negara yang akan bekerjasama dengan Cina, Malaysia,
dan Brazil. Perusahan ini dipersiapkan agar Timor-Leste mendapatkan haknya yang
lebih besar dari ladang-ladang minyak yang saat ini masih disengketaan dengan
Australia.
Saat
ini Timor-Leste menjadi salah satu negara miskin di dunia yang tidak memiliki
hutang. 10 % yang terdapat dalam Petroleum Fund akan digunakan untuk
pengembangan program pendidikan, kesehatan dan pertanian dalam bentuk investasi
sektor publik.
Pelayanan
kesehatan di Timor-Leste adalah gratis, demikian halnya dengan biaya pendidikan
mulai dari tingkat dasar hingga menengah. Kebijakan pendidikan ini akan
diterapkan mulai bulan Juli mendatang.
Untuk
mengimplementasikan program-program pembangunan, pemerintah Alkatiri sedang
mempersiapkan satu model kerjasama baru yang melibatkan sektor-sektor
masyarakat (pemerintah lokal, gereja dan masyarakat sipil) melalui New
Partnership Program.
Dari
sisi lain, kelompok borjuis yang kini melakukan konsolidasi politik, yang
selama proses transisi berlangsung paling diuntungkan melalui pengelolaan
dana-dana bantuan lewat Bank Dunia dengan pemberian tender-tender pada sektor
swasta, menginginkan hal yang lain. Dan tentu saja dengan berbagai kebijakan di
atas kepentingan mereka tergangu. Sungguh, sebuah pertarungan yang
mengkhawatirkan!
http://mauberedigitalarmy.wordpress.com/category/catatan-dari-dili/
posted on mei 15 2006
Komentar
Posting Komentar