‘Failed State’ dan Kebangkitan Borjuasi Timor-Leste

                                                                 
Oleh Rahun Nasution 

Pada hari Rabu, 24 April 2006, dari depan Palácio das Cinzas (Istana Abu), ketika dua utusan demonstran tentara petisioner yang dipecat markas Falintil-Força de Defesa de Timor-Leste (F-FDTL) yang dipimpin oleh Letnan Satu Gastão Salsinha bertemu dengan presiden Xanana Gusmão untuk menyampaikan tuntutan mereka, Eric Campbell melaporkan pada Radio Australia: “The march began peacefully but soon turned into a violent ethnic clash as protestors attacked a market run by stallholders from the country’s eastern regions. 591 soldiers form the western regions were dismissed last month after they went AWOL (Absent Without Leave) claiming their commanders were favouring eastern soldiers.” [Barisan demonstrasi itu dimulai dengan damai tetapi segera berubah menjadi bentrokan etnik yang keras ketika para pemrotes menyerang satu pasar yang para penjualnya berasal dari wilayah timor negeri itu. 591 prajurit dari wilayah barat dipecat pada bulan lalu setelah mereka meninggalkan markas di luar cuti, menuduh para komandan mereka mengistimewakan prajurit dari wilayah timur]. 

Keesokan harinya, Suara Timor Lorosa’e (STL), koran nasional terbitan Dili yang bertiras tidak lebih dari 1000 eksemplar, menulis dua berita pada halaman utama dalam bahasa Tetun dan Indonesia, Demo Petisionariu Lao Ho Diak (Demo Petisioner Berjalan Baik) dan Keributan Warnai Aksi Demo F-FDTL ‘Petisi’

Proses pengemasan pesan (Framing of political messages) yang dilakukan STL menunjukkan kecerobohan redaksional yang fatal sehingga kedua berita yang mereka produksi menjadi kontradiktif dan sebagai berita sama sekali tidak bisa dipercaya. Pada satu berita Demo Petisioner Berjalan Baik, sementara pada kolom di bawahnya Keributan Warnai Aksi Demo F-FDTL.

Pada kasus laporan Eric Campbell, publik di Australia digiring pada satu ‘rekayasa’ peristiwa politik bahwa di Dili sedang terjadi satu kekacauan yang luar biasa, yang Campbell laporkan sebagai bentrokan etnik (ethnic clash) yang keras.

Pada hari pertama demontrasi tentara petisioner F-FDTL, saya meliput peristiwa tersebut bersama puluhan jurnalis lokal dan internasional. Memang terjadi keributan di sekitar Mercado Lama. Sekelompok orang yang berada di wilayah pasar melakukan pelemparan ke arah demonstran. Peristiwa ini terjadi disebabkan reaksi spontan karena ungkapan-ungkapan simpatisan demonstran tidak bisa mereka terima, seperti yang diyakini banyak jurnalis yang berada di lokasi kejadian. Kemungkinan lainnya, pelemparan itu merupakan satu rekayasa agar terjadi benturan etnik. Dan Jika asumsi kedua ini yang benar, maka peristiwa pelemparan itu sudah menjadi agenda politik terselubung yang ingin membenturkan masyarakat bawah Timor-Leste.

Menjelang pertengahan April di Dili beredar rumor lewat mulut ke mulut, melalui SMS ataupun telepon selular yang isinya memecah-belah masyarakat Timor-Leste ke dalam dua kubu: lorosa’e (bagian timur) versus loromonu (bagian barat). Menurut rumor tesebut, perpecahan ini akan memicu terjadinya perang saudara. Bermula dari rumor yang tidak jelas asal-usulnya ini, penduduk Dili pun mulai melakukan eksodus dengan mengungsi ke tempat-tempat yang dianggap aman ataupun kembali ke kampung halaman di distrik asal masing-masing.

Pada bulan Februari, sebelum presiden Xanana Gusmão melakukan lawatannya ke Portugal, tentara petisioner F-FDTL melakukan aksi protes ke Palácio das Cinzas menuntut penyelesaian masalah diskriminasi yang mereka persoalkan. Selain ke Presiden dan Parlemen Nasional, mereka juga mengirimkan tembusan tuntutan mereka ke keduataan-kedutaan asing di Timor Leste. Presiden Xanana meminta mereka kembali ke markas dan menyelesaikan persoalan ini dalam institusi F-FDTL. Bulan Maret, Panglima F-FDTL Brigadir Jenderal Taur Matan Ruak mengumumkan pemecatan 591 anggota F-FDTL dengan alasan indisipliner meninggalkan markas. Pemecatan itu diumumkan menjelang kepulangan presiden Xanana Gusmão ke Timor-Leste.

Melalui pidato kenegaraan yang disiarkan Radio no Televisaun Timor-Leste (RTTL), presiden Xanana menilai keputusan markas F-FDTL tidak adil, namun sebagai kepala negara, presiden menerima keputusan tersebut. Dalam pidatonya presiden Xanana juga mengatakan bahwa Panglima F-FDTL mengatakan, “Kalau perang, ya perang.” Tidak jelas kapan dan dalam konteks apa ucapan itu disampaikan. Presiden juga menyebut adanya anggapan dalam F-FDTL bahwa orang loromonu tidak berjuang dan loromono itu adalah 10 distrik, mulai Manatuto sampai Oecusse. Mulai saat itulah, persoalan diskriminasi dalam insititusi militer yang diangkat petiosioner ini berkembang menjadi desas-desus akan pecahnya perang saudara: tiga distrik di timur (Lospalos, Viqueque, dan Baucau) melawan sepuluh distrik lainnya. Dan berbagai rumor pun mulai berkembang di kalangan luas. Tetapi tidak terjadi perang saudara di Timor Leste. Pro-kontra mengenai pemecatan anggota F-FDTL tersebut terus berkembang.

Para tentara petisioner, di bawah pimpinan Gastão Salsinha, selanjutnya mengadakan demonstrasi dan rapat umum mulai 24 April menuntut agar Presiden Xanana membentuk satu komisi untuk menyelidiki diskriminasi dalam F-FDTL. Pada hari keempat, 28 April, demonstrasi yang semula damai berakhir dengan kekerasan. Menurut versi pemerintah 4 orang sipil meninggal, terjadi pembakaran rumah-rumah penduduk dan sejumlah kios, di Taci Tolu dan pasar Taibesi. Aksi lanjutan pada 8 Mei yang lalu berlangsung distrik Ermera dengan menewaskan satu anggota polisi dari kesatuan UIR (Unit Gerak Cepat). Selain menuntut pemerintah menyelesaikan persoalan tentara petisioner F-FDTL secepatnya, mereka juga menyerukan pomboikotan administrasi pemerintahan lokal di sepuluh distrik Timor-Leste. Dan aksi pemboikotan yang ingin melumpuhkan pemerintahan Mari Alkatiri itu tidak direspon masyarakat.

Pada edisi Selasa 9 Mei 2006, harian Kompas, satu rezim media yang punya pengaruh besar di Indonesia, memuat satu artikel Timor-Leste dan "Negara Gagal" yang ditulis Baiq LSW Wardhani, seorang staf pengajar Political Affairs di Universitas Airlangga (UNAIR), Surabaya. Sekali lagi, secara ceroboh STL mempublikasikan kembali artikel ini dalam kolom opini mereka melalui ‘keajaibain’ teknologi download internet. Opini tersebut merupakan satu penyikapan intelektual yang bias dan berusaha menggiring opini di Indonesia bahwa peristiwa politik aktual di Timor-Leste sedang mengarah pada kegagalan sebuah negara (failed state/disrupted state). Konyolnya, STL memuat kembali tulisan yang bias dan tidak akurat dari luar negeri mengenai negerinya sendiri.

Wardhani menggunakan indikator “kekacauan” politik di Timor-Leste dengan berargumen “jika kekacauan politik ini terjadi secara terus-menerus, maka akan terjadi fragmentasi elit politik yang menimbulkan ketidakmampuan satu negara untuk mengatasi konfliknya sehingga mengundang intervensi pihak asing.” Dalam pemaparannya Wardhani menyalahkan sikap asing, khususnya sikap mendua Australia yang dia istilahkan sebagai “dokter” yang tidak bertanggungjawab yang membidani kelahiran negara baru ini. Di satu sisi Australia mencoba jadi dewa penolong dan di sisi lain secara serakah ingin menguasai kekayaan Timor-Leste di Celah Timor, demikian tuduh Wardhani.

Argumen ini menunjukkan ketidaktahuan penulisnya pada situasi politik aktual di Timor-Leste ketika menjalani transisi menuju negara merdeka dan sesudahnya. Atau bisa jadi argumen ini juga bersumber dari rumor dan desas desus yang beredar di media massa baik di Timor-Leste ataupun media luar khususnya di Australia dan Indonesia. Saya sendiri curiga, argumen ini merupakan kekecewaan kaum ‘nasionalis’ di Indonesia yang menyesalkan “berpisahnya” Timor-Leste dari Republik Indonesia. Apakah STL juga menyesalkan perpisahan ini?

Jika kita melihat berbagai faktor peristiwa politik di Timor-Leste untuk memulai diskusi tentang negara gagal (failed state/disrupted state), faktor-faktor yang mendukungnya belum ada sehingga menjadikan diskusi ini tidak relevan. Karena kategori-kategori negara gagal (satu teori yang sangat pro-pasar), tidak terjadi pada politik aktual di Timor-Leste. Selain instabilitas politik melalui konflik parmanen antar kelompok-kelompok politik, etnis, agama, dan ras yang terjadi di sebuah negara, indikator terpenting yang menjurus pada gagalnya sebuah negara adalah proses pemiskinan sistematis. Dari berbagai kebijakan yang diterapkan pemerintah Timor-Leste dalam program pembangunannya, belum menunjukkan ketidakmampuan negara untuk menyediakan pelayanan publik. Jadi maklum saja, jika analisis Wardhani tersebut hanya berdasarkan rumor yang berkembang di media massa.

Ketika kerusuhan mulai berlangsung, 28 April, dengan pembakaran sejumlah kenderaan di depan Palácio do Governo, ada satu peristiwa penting yang nyaris luput dari perhatian media massa: presiden Xanana Gusmão dan Perdana Menteri Alkatiri sedang berada di Hotel Timor mengikuti seminar yang diselenggarakan Forum Empresario Timor-Leste (Forum Pengusaha Timor-Leste). Satu forum pengusaha yang didukung oleh badan bantuan pembangunan pemerintah Amerika Serikat, USAID melalui program Dezemvolve Setor Privada (Pengembangan Sektor Swasta).

Di tengah ‘krisis’ yang dihadapi pemerintah Mari Alkatiri, pada tanggal 8 Mei, Menteri Pembangunan dan Perekonomian Abel Ximenes (Larissina) mengundurkan diri. Meskipun sebagian kalangan melihat adanya perbedaan Abel Larissina dengan Mari Alkatiri mengenai arah negara ini, Abel membantah hal ini. Abel Larissina hanya mengatakan bahwa dia akan kembali ke Fretilin untuk memperkuat partai dan sebagai pengusaha akan mengembangkan penguatan sektor swasta.

Dalam minggu ini, 16-19 Mei, Fretilin akan melangsungkan Kongres Nasional II. Abel Larissina dan kelompoknya merupakan satu kekuatan yang berpengaruh pada kongres yang akan memilih dan menetapkan kembali presiden dan sekretaris jenderal Fretilin, yang saat ini dijabat Lu Olo-Mari Alkatiri.

Sebagai negara baru Timor-Leste dibentuk dengan melibatkan campur tangan negara-negara asing dan menyisakan berbagai persoalan yang menuntut untuk segera diselesaikan. Perdebatan politik dalam pembentukan institusi-instiusi negara mengalami ‘kemandegan’ dan Timor-Leste ‘dipaksa’ untuk menerima berbagai kebijakan yang kemudian menimbulkan permasalahan. Sementara itu, proses rekonsiliasi yang berlangsung juga tidak menjawab tuntutan keadilan yang diperjuangkan banyak kalangan.

Satu warisan PBB yang cukup bermasalah adalah pembentukan institusi angkatan bersenjata F-FDTL. PBB membentuk angkatan bersenjata Timor-Leste mengacu pada satu studi yang dilakukan oleh King’s College (Inggris) pada bulan Mei 2000 dan melalui Regulasi United Nation Transition Adminstration in East Timor (UNTAET) No. 1 tahun 2001 (UNTAET/REG/2001/1). Institusi F-FDTL dibentuk melalui persetujuan dari National Council (Dewan Nasional) yang saat itu dikepalai oleh Xanana Gusmão.

Proses rekrutmen dan pemberian pangkat mengakibatkan kekecewaan di berbagai kalangan yang menganggap proses tersebut tidak adil (Buletin La’o Hamutuk, Vol. 6 No. 1-2 April 2005). Transformasi Falintil sebagai tentara pembebasan nasional menjadi tentara reguler menghancurkan relasi yang berlangsung selama masa perjuangan. Hubungan antara gerilyawan bersenjata dengan rakyat yang selama ini didentikan dengan ikan dan air. Hubungan fundamental semacam ini tidak dianggap penting dalam proses pembentukan institusi F-FDTL.

Rekrutmen ini merugikan banyak gerilyawan yang sudah bertahun-tahun berpartisipasi dalam perjuangan bersenjata, tetapi tidak lulus dalam ujian masuk F-FDTL karena prasyarat kesehatan dan tinggi badan. Masalah lain adalah kepangkatan. Ada komandan di hutan yang dalam F-FDTL mendapatkan pangkat serdadu biasa, sementara pemuda yang selama ini membantunya sebagai estafeta malah berpangkat kapten. Entah karena alasan tingkat pendidikan atau sebab lainnya, yang tidak terkait dengan perjuangan Falintil sebelumnya.

Pada perekrutan tahap awal, F-FDTL merekrut 600 orang dari satuan-satuan gerilyawan Falintil. Mantan-mantan gerilyawan Falintil yang tidak masuk dalam daftar perekrutan diintegrasikan ke dalam masyarakat melalui satu Program Reintegration yang dikelola oleh IOM (International Organization of Migration) dan didanai Bank Dunia.

Proses reintegrasi ini juga mengakibatkan persoalan yang semakin pelik. Sebelum dikembalikan pada masyakarat, mantan-mantan gerilyawan Falintil dibekali dengan kursus-kursus kilat dan diberi bantuan dana untuk berdikari membuka usaha kecil. Banyak dari usaha-usaha kecil yang tidak bisa berjalan karena kemampuan managemen usaha sangat terbatas. Bisa jadi juga karena kesaharian mereka ketika masih bergerilya di hutan terbiasa dengan urusan-urusan strategi peperangan. Mari Alkatiri sendiri, pada program Visaun Governu di RTTL, diawal bulan ini, mengungkapkan ketidaksetujuannya pada proses yang berlangsung ketika itu.

Sementara itu, program pelatihan dan pendidikan di F-FDTL diserahkan pada negara-negara asing terutama dari Australia dan Portugal yang bersedia memberi dana dan juga mendatangkan pelatih-pelatih militer.

Jika kita melihat dari proses pembentukan institusi F-FDTL yang bermasalah ini, tuntutan 591 anggota F-FDTL petisioner yang mengangkat persoalan diskriminasi memang ada dasarnya. Namun diskriminasi yang dipersoalkan dengan mengangkat isu regionalisme, tentara wilayah timur versus tentara wilayah barat sepertinya tidak tepat dan salah sasaran. Kenyataannya, dari proses pembentukan institusi ini banyak bekas-bekas gerilwayan yang memilih mundur dan kembali ke masyarakat menjadi orang sipil karena ketidaksenangan mereka pada proses ini ataupun karena pilihan mereka sendiri. Mantan-mantan gerilyawan Falintil ini bisa berasal dari wilayah barat maupun wilayah timur, seperti eks Comandante Samba 9, Secretário Renan Selac, Comandante Ernesto Dudu, Comandante Eli Foho Rai Boot, dan lain sebagainya.

Jika persoalan warisan PBB maupun persoalan-persoalan sejarah yang belum diselasaikan ini hanya semata-mata ditimpakan pada pemerintahan Mari Alkatiri, ini tidak ada dasarnya. Pandangan yang salah sasaran inilah yang sering diekspos pada media massa Timor Leste dan Australia yang memandang pemerintah Mari Alkatiri sebagai segala sumber persoalan. Media massa tidak melihat bahwa Alkatiri justru berusaha meminimalkan atau bahkan menyingkirkan kekuatan-kekuatan asing yang selama ini mendominasi pembuatan keputusan di Timor-Leste.

Di tengah berbagai kritik yang ditujukan pada pemerintah Alkatiri, baik dari kamarada-kamaradanya di Fretilin maupun dari barisan oposisi, sejauh ini kita belum melihat satu visi dan satu model ‘alternatif’ bagi pembangunan negara baru ini. Serangan-serangan yang ditujukan pada Mari Alkatiri cenderung karena kekecewaan dan tidak terakomodirnya kepentingan kelas borjuis Timor-Leste. Lebih parah lagi, ada kalangan yang mempersoalkan kewarganegaraan, ras dan agamanya yang islam.

Sistem demokrasi liberal yang dipromosikan PBB secara otomatis menjadikan partai-partai politik menjadi mesin elektoral. Partai sebagai mesin elektoral, dalam hal ini Fretilin, akhirnya juga terjebak dalam model demokrasi yang meminggirkan partisipasi rakyat.

Pada tahun 1975 Fretilin mengintegrasikan perjuangan pembebasan nasional dengan cita-cita pembebasan rakyat melalui program koperasi, pemberantasan buta huruf dan pengembangan kebudayaan nasional. Saat itu Fretilin menjadi satu kekuatan politik rakyat dengan visi yang jelas tentang masa depan Timor-Leste yang merdeka. Sayangnya, ide-ide popular yang berkembang di tahun 1970-an ini dianggap banyak kalangan di Fretilin sebagai ide yang sudah usang. Hanya sebagian kecil elit Fretilin yang terus ingin mengembangkanya, salah satunya adalah Mari Alkatiri.

Berbagai kelemahan yang dihadapi Fretilin dan gempuran berbagai kepentingan asing, Mari Alkatiri mencoba mencari satu jalan ‘alternatif’ bagi pembangunan Timor-Leste. Memang tidak ada ruang politik untuk mengikuti jalan Venezuela, Brazil atau Bolivia. Namun belajar dari kegagalan negara-negara lain, termasuk Indonesia, Mari Alkatiri tidak menjerumuskan Timor-Leste dengan menghutang pada Bank Dunia dan IMF. Kebijakan ini bukan hanya ditentang oleh barisan oposisi yang pro-pasar, namun juga oleh kamarada-kamarada di Fretilin. Saat ini sebagian besar dari elit Fretilin menduduki posisi-posisi penting di kabinet Mari Alkatiri, salah satunya adalah Abel Ximenes Larissina yang kemudian mengundurkan diri.

Tiga sektor prioritas pembangunan pamerintah Alkatiri yakni sektor pendidikan, pertanian, dan kesehatan juga menjadi sasaran kritik lainya. Kebijakan kerjasama bilateral dengan pemerintah Kuba dan Cina sering dipersoalkan. Mari Alkatiri dituding ingin menggiring negara baru ini mendekati Cina dan Kuba yang ‘komunis.’

Melalui Departemen Kesehatan dan Pendidikan Timor-Leste, pemerintah mengirimkan ratusan pelajar untuk belajar kedokteran ke Kuba dan secara voluntir pemerintah Kuba mendatangkan dokter-dokter ke Timor-Leste untuk membantu pelayanan kesehatan pada klinik-klinik yang tersebar luas di tiga belas distrik.

Pada sektor pendidikan non-formal, untuk mengatasi 50% lebih masyarakat Timor-Leste yang masih buta huruf, saat ini pemerintah menjalankan satu program pemberantasan buta huruf. Pemerintah Kuba mendatangkan pelatih-pelatih pendidikan popular yang akan bekerjasama dengan tenaga-tenaga pengajar di komunitas.

Tentu saja suara-suara miring yang ditujukan barisan oposisi pada Mari Alkatiri didukung dan diperkuat melalui peran politik media. Mengamati standar pemberitaan media yang liberal sekalipun, pemberitaan media massa di Timor Leste terhadap Mari Alkatiri dan kebijakannya cukup mengkhawatirkan.

Kritik yang dialamatkan pada Mari Alkatiri—‘yang ingin menggiring Timor Leste mendekati Kuba dan Cina’—melalui pemberitaan media massa, tidak satupun yang dikonfirmasikan pada pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya, dalam menulis mengenai rendahnya mutu pelayanan dokter Kuba, surat kabar tidak mewawancarai pasien yang pernah dirawat para dokter Kuba apalagi mewawancarai dokter-dokter itu sendiri.

Selain kerjasama bilateral dengan Kuba dan Cina, sebenarnya pemerintah Timor-Leste juga menerima berbagai macam bentuk bantuan dari negara-negara Barat. Pada sektor peradilan dan pendidikan, pemerintah Australia, Amerika dan Portugal juga memberikan bantuan dana. Badan-badan dana pemerintah negara Barat juga menyediakan beasiswa bagi mahasiswa-mahasiswa Timor-Leste. Tapi kalau kita bandingkan, beasiswa dari negara-negara Barat itu biasanya diberikan kepada para mahasiswa yang menempuh pendidikan di bidang-bidang yang kurang bermanfaat bagi rakyat dan kebanyakan lulusannya bukan bekerja untuk rakyat tetapi untuk lembaga-lembaga internasional yang ada di Timor-Leste.

Sekelompok aktivis yang terdiri dari mahasiswa dan pekerja NGO Dili, yang dikenal dengan Kelompok Farol yang secara ide dan pemikiran sering ‘dicap’ dekat Mari Alkatiri, melihat pertarungan politik yang terjadi saat ini mengarah pada konsolidasi elit borjuis untuk menyingkirkan Mari Alkatiri. Baik pada pertarungan internal Fretilin maupun pada pemilu 2007 yang akan datang. Pendapat ini mengemuka pada satu diskusi hari Sabtu, 13 Mei lalu, yang berlangsung di Institutu Edukasaun Popular untuk membahas perkembangan politik terakhir di Timor-Leste.

Tidak semua kebijakan Mari Alkatiri didukung Kelompok Farol. Regulasi yang mengatur keimigrasian dan undang-undang defamasi meresahkan kalangan aktivis ini. Namun jika kita melihat kebijakan pengelolaan kekayaan Timor-Leste yang diperoleh dari pendapatan minyak dan gas di Celah Timor, pendapat kaum aktivis ini memiliki dasar argumen yang kuat.

Dalam regulasi Undang-Undang Perminyakan, pemerintah Alkatiri mencoba mengatasi ‘malapetaka kekayaan sumberdaya’ yang sering dihadapi negara-negara yang kaya akan sumber daya minyak namun mengalami kemiskinan parmanen dengan membentuk satu insitusi Petroleum Fund. Satu institusi yang akan mengelola kekayaan negara ini dipromosikan sebagai “Norwegia Plus”.

Melalui Petroleum Fund, 90 % kekayaan negara yang diperoleh dari minyak dan gas akan diinvestasikan ke dalam obligasi untuk kepentingan jangka panjang. Obligasi ini bertujuan menghindari berbagai permasalahan yang umum dihadapi negara-negara yang kaya minyak dan gas namun mengalami inflasi ekonomi domestik yang memperlemah kompentisi mereka untuk memperbaiki kembali pendapatan negara mereka.

Pendapatan yang ada pada Petroleum Fund akan dimasukkan secara langsung ke dalam satu rekening yang akan dikontrol oleh BPA (Otoritas Perbankan dan Pembayaran). Untuk penggunaan dana tersebut diperlukan persetujuan dari Parlemen Nasional dan harus melalui satu deklarasi dari tim auditor independen.

Selain managemen kekayaan minyak dan gas yang diperoleh dari pendapatan hasil kerjasama pemerintah Australia dan Timor Leste, pemerintah Alkatiri juga berencana mendirikan satu perusahan negara yang akan bekerjasama dengan Cina, Malaysia, dan Brazil. Perusahan ini dipersiapkan agar Timor-Leste mendapatkan haknya yang lebih besar dari ladang-ladang minyak yang saat ini masih disengketaan dengan Australia.

Saat ini Timor-Leste menjadi salah satu negara miskin di dunia yang tidak memiliki hutang. 10 % yang terdapat dalam Petroleum Fund akan digunakan untuk pengembangan program pendidikan, kesehatan dan pertanian dalam bentuk investasi sektor publik.

Pelayanan kesehatan di Timor-Leste adalah gratis, demikian halnya dengan biaya pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga menengah. Kebijakan pendidikan ini akan diterapkan mulai bulan Juli mendatang.

Untuk mengimplementasikan program-program pembangunan, pemerintah Alkatiri sedang mempersiapkan satu model kerjasama baru yang melibatkan sektor-sektor masyarakat (pemerintah lokal, gereja dan masyarakat sipil) melalui New Partnership Program.

Dari sisi lain, kelompok borjuis yang kini melakukan konsolidasi politik, yang selama proses transisi berlangsung paling diuntungkan melalui pengelolaan dana-dana bantuan lewat Bank Dunia dengan pemberian tender-tender pada sektor swasta, menginginkan hal yang lain. Dan tentu saja dengan berbagai kebijakan di atas kepentingan mereka tergangu. Sungguh, sebuah pertarungan yang mengkhawatirkan!

 http://mauberedigitalarmy.wordpress.com/category/catatan-dari-dili/ posted on mei 15 2006


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prinsipius Doutrina Sosial Igreja No Prinsipius Filozofikus -Ideolojikus Fretelin

Medisina Sosial iha Timor-Leste

East Timor Revisited: Ford, Kissinger and the Indonesian Invasion, 1975-1976